Apakah sekarang pikirannya lebih tenang?

Yuniza tak yakin.

Dia memandang langit-langit kamar dengan gundah. Dulu dia menyukai kamarnya sebab ruangan ini miliknya. Dia berkuasa atas apa yang ada di sini berkebalikan suasana di luar kamar. Dia hanyalah anak yang harus patuh, tenang, dan dewasa. Kebebasan di rumah ini tersedia di dalam kamar dimana dia memiliki ruang berekspresi. Namun pagi ini, kepercayaannya runtuh. Kamarnya diinvasi. Ibunya telah secara terang-terangan menunjukkan tak ada ruang miliknya sendiri, bahkan ketika pintu kamarnya tertutup. Akses itu semu. Orang tua selalu bisa melanggar batas milik anak mereka, lantas menuduh tanpa mendengarkan pembelaan.

Sangat tragis, nilainya.

Lengannya naik ke atas kening, lalu dia merapatkan mata. Sedikit istirahat dia butuhkan untuk menenangkan hati dan pikirannya.

Satu setengah jam kemudian, Yuniza menerima panggilan telepon. Matanya membesar kala mengetahui siapa yang menelepon.

"Mami!"

Seruan di seberang menyebabkan Yuniza tersenyum. Dia nyaris lupa nikmatnya senyum sepanjang pagi. Terima kasih pada Akbar yang telah mengingatkannya. Matanya memanas. Dia mengusap sudut mata.

"Akbar, kamu masih aja manggil mama," katanya sambil tertawa kecil.

"I like it. I like everytime I call you mami."

Yuniza tersenyum dengan tangan menutup mata. Dia terhibur, sangat terhibur, oleh perkataan Akbar. Anak itu ーtanpa sadarー sudah membuat Yuniza merasa berharga.

"Ayah kamu belum tentu suka dengar kamu manggil Kakak begitu," nasihat Yuniza. Suaranya mulai serak dan hidungnya berair.

"Don't mind about it. Ayah cannot stop me calling you mami." Akbar mengubah volume suaranya jadi berbisik saat melanjutkan, "I call you mami when only us around."

Yuniza tertawa lagi. Tawa yang memilukan sebab dibarengi dengan air mata.

"Aku mau ke rumah Kak Yuniza. Kata Om Nandar harus tanya rumah Kak Yuniza di mana," kata Akbar lagi. Suasana hati anak itu sedang sangat baik. Siapa pun bisa mengetahuinya hanya dari suara si bocah.

"Kamu harus minta izin dulu sama nenek. Dibolehkan atau nggak," Yuniza menambahkan.

"Nenek agree dong. Kan nenek sayang aku banget banget. Aku boleh main kalo sama Om Nandar. Emangnya Kak Dira sering dilarang main. Kak Dira sih bodoh. Nenek jadi nggak sayang."

Astaga! Yuniza merasa tak enak mendengar keluhan Akbar soal kakak perempuannya.

"Nenek kamu pasti sayang Kak Dira juga. Akbar berhenti cerita yang jelek-jelek tentang Kak Dira. Nanti Kak Dira dengar, dia sedih. Apa Akbar mau lihat Kak Dira sedih?" Yuniza penasaran pada hubungan kucing dan anjing Akbar dengan Dira.

"Aku nggak mau liat Susuku sedih. Kak Dira boleh sedih. People is allowed to be sad. Sad is an expression of our feeling and it's normal. Baby, children, teens, and adults can be sad. I was sad yesterday. Now, I'm happy. You're fine yesterday. Today you're sad," oceh Akbar.

Yuniza melongo pada kalimat terakhir Akbar. Apakah anak itu mengetahui dia menangis sepanjang menelepon? Dia yakin dia sudah menahan isakannya.

Jika benar, anak itu tahu suasana hatinya, Yuniza kagum terhadap kepekaan Akbar.

"Memangnya Kak Yuniza sedih? Tahu dari mana?" Yuniza mengorek informasi.

"I hear your voice..." Akbar terkikik di ujung.

"Kenapa sama suara Kak Yuniza?"

"You cry!" seru Akbar. Yuniza tersentuh. Akbar sungguh mencermati lawan bicaranya. Anak sekecil itu memainkan peran lawan bicara yang lebih baik dari orang dewasa.

Ketika Yuniza tengah terpukau pada kepekaan Akbar, bocah ini kembali berulah, "You're sad because ayah cannot marry you. You wanna live with him and me and abang and kakak and nenek and Susuku. You wanna swim in my pool. You wanna sleep with me. You wanna cook bento for me. You wanna read books with me. You wanna watch TV with me."

"Akbar!" Yuniza memotong.

"Yes?"

"Datang ke rumah Kakak aja. Kita main di sini. Kakak mau kasih unjuk rumah Kakak." Dan orang tua Kakak, lanjut Yuniza dalam hati.

"Wow! It's cool! Let's go, Om Nandar! Tancap gas!" seru Akbar.

Sayup-sayup Yuniza mendengar protes Nandar yang berkata mereka belum tahu alamat rumah Yuniza.

"Kakak share loc ya supaya gampang ketemu," usul Yuniza.

"Very well," sahut Akbar.

"Kakak tunggu di sini. Sekalian kita makan siang bareng. Kamu mau?"

"Mau dong!"

"Hati-hati di jalan."

"Oke."

Layar ponsel Yuniza menggelap setelah panggilan berakhir. Dia memandangi ponselnya agak lama. Ada rasa tak nyaman sebab  akan memanfaatkan anak kecil tak bersalah dalam permainannya. Di sisi lain, tekadnya cukup kuat untuk mendorongnya melakukan tindakan jahat.

Semua ini karena Mama, pikirannya membuat pembelaan atas protes nuraninya.

Dia sudah muak dan ingin kegilaan yang menggerogoti kepalanya usai. Dan jika pilihannya adalah memanfaatkan anak kecil, dia rela menanggung risiko di kemudian hari.

###
30/08/2023
Gelap mata nih bocah 😒😒 awas aje kalo Akbar kesayangan pembaca sampe terluka, Za. Kelar masa depan dikau sebagai pemeran utama. Kamu bakal ganti peran jadi penjahat di cerita ini.

Btw, kalian ga lupa kalo Za ini masih 21 taun kan? 😁 jadi jangan ekspektasi dia ini bisa ngambil keputusan dewasa yang waaah.

Grapefruit & RosemaryNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ