18

3.5K 637 31
                                    

Daun pintu terbuka lebar. Akbar menjadi tersangka. Anak itu menyengir tanpa rasa bersalah saat melihat Adnan menggeleng tak suka.

"Ayaaaah, ngapain masukin baju ke koper?" Akbar melompat ke kasur.

"Ayah ada pekerjaan di KL. Kamu di rumah sama Abang Reyyan dan Kak Dira. Nenek bakal ajak kamu main ke Kidzania dan Kidzoona. Kalau kamu mau main ke tempat lain, kasih tahu nenek." Adnan menjawab sembari merapikan pakaiannya ke dalam koper hitam yang terbuka di atas kasur.

"Ayah nggak bilang aku mau pergi ke Malaysia." Akbar cemberut.

Adnan berhenti sedetik. Kemudian dia menunda memasukan sisa pakaiannya dan beralih menarik Akbar duduk bersamanya. "Ayah sudah kasih tahu. Kamu sampai titip oleh-oleh ke Ayah. Akbar lupa?"

"Ayah keseringan ke luar negeri. Aku jadi lupa, kan." Akbar menumpukan lengannya pada paha Adnan.

Tangan Adnan mengelus rambut Akbar yang malam itu tidak dilapis pomade. Biasanya gaya rambut anaknya selalu berdiri meruncing yang membuat heran dari sumber fashion mana Akbar memperoleh inspirasi. Di tahun segini sudah sulit ditemukan pria yang berpotongan rambut mohawk maupun spike.

"Lain kali Ayah ingatkan Akbar lagi. Tadi kamu ke mana? Kata Nenek, kamu jalan-jalan."

"I hunted treasure. The special one. You never ever ever imagined." Akbar mengangkat kedua alisnya dengan jenaka.

"Nggak ada bahasa Inggris di rumah," Adnan mengingatkan.

"Kan cuma kita aja. Ayah bisa English, why don't we talk in English? The problem is Kak Dira cannot speak English. Kak Dira les bahasa Inggris dong. Ngapain belajarnya bahasa Jepang?" Akbar mengeluh sambil berguling dari paha Adnan.

"Kak Dira belajar bahasa Jepang karena dia suka. Kamu masuk sekolah bahasa Inggris karena kamu suka. Apa bedanya? Sama-sama suka. Sama-sama bagus belajar bahasa asing."

"Bang Reyyan dong bisa bahasa Inggris, bisa bahasa Jepang, nggak pake belajar."

"Bang Reyyan belajar bahasa Inggris dan bahasa Jepang di sekolah." Ada kalanya Adnan letih terhadap pemujaan Akbar ke Reyyan dan sikap skeptis Akbar ke Dira.

"Tetep aja Abang smart, Kakak ehm ... need more study."

Adnan mengulum senyum geli pada pemilihan kata Akbar yang menggambarkan tingkat kecerdasan putrinya. Di mana lagi dia bisa menemukan anak kecil yang menghibur ini selain di rumahnya sendiri.

"Cerita ke Ayah, kamu main ke mana sama Om Nandar?"

"Ayah..." Akbar duduk di sebelah Adnan. "Kenapa Ayah nggak nikah?"

Adnan tersenyum. Selalu ada kejutan dari anak bungsunya dan dia belum bisa terbiasa mendapati kejutan-kejutan tersebut. Salah satunya yang ini. Obrolan bisa berubah tanpa rencana dan menjadi serangan di telinganya. "Ayah sudah nikah. Sama bunda kamu."

"Bunda udah nggak ada. Ayah widower. Ayah is eligible to marry AGAIN." Akbar memasang ekspresi serius.

Adnan tahu bakal ada waktunya Akbar membahas ini. Apalagi sebagian besar waktu Akbar bersama ibunya yang sudah tak sabar merobek status duda dari bahunya. Namun dia belum siap. Dia tidak pernah benar-benar memikirkan jawaban untuk pertanyaan semacam ini dari anaknya. Anak yang paling bungsu.

"Ayah baik-baik saja kalau nggak menikah lagi. Ayah punya kamu, abang, dan kakak. Ayah nggak punya alasan untuk menikah lagi. Ayah sudah puas seperti ini."

"Ayah nggak bobo sendiri."

Adnan mengernyit. Konsep pernikahan macam apa yang dimiliki Akbar di benaknya? Apakah pernikahan sama dengan teman seranjang?

Grapefruit & RosemaryWhere stories live. Discover now