10

4.3K 615 86
                                    

Adnan menyandarkan bahu pada kusen pintu kaca kamarnya yang tinggi dan menghadap ke kolam renang. Ada putra bungsunya yang tengah berenang. Pada alfresco, putrinya duduk dengan kaki bersilang di atas kursi dan menghadap kolam. Adnan senang melihat tanggung jawab yang ditunjukkan anak keduanya kepada sang adik. Nadira mengawasi Akbar sekalipun tidak turut masuk ke air. Biasanya Reyyan yang rajin mendampingi Akbar berenang. Sekali ini, anak itu memiliki kesibukan di luar rumah pada akhir pekan.

Pandangan Adnan naik ke langit. Cuaca cerah dan angin berembus sejuk. Sungguh kombinasi yang tepat untuk merilekskan pikiran. Nyatanya dia kesusahan tidur semalam dan pagi ini masih gusar. Dia tidak pernah menyangka seorang gadis berhasil mengacaukan kedamaian yang selama ini dia jaga.

Adnan kepikiran bagaimana perasaan Yuniza. Dia tahu tindakannya membawa Yuniza ke sekolah tiap anaknya akan memberikan pukulan, tetapi sikap perempuan itu sebelum mereka berpisah membuatnya terbayang-bayang.

"Aku nggak mau ambil balik. Kue itu aku buat untuk kamu makan. Sekarang, aku punya alasan lain untuk ngasih kue itu ke kamu. Selamat menikmati kue itu bareng anak-anak kamu. Semoga mereka suka. Aku menggunakan tepung terigu, susu, krim, telur, dan butter. Barangkali info ini kamu butuhkan buat anak kamu yang alergi." Kata-kata Yuniza sebelum turun dari mobilnya terputar dalam benak Adnan.

Dia telah bertemu bermacam-macam perempuan. Dari sekian banyak perempuan, dia baru pertama kali menemukan perempuan yang bersikap sebaik Yuniza. Kebanyakan dari mereka memaki Adnan ketika pendekatan itu tidak berjalan lancar. Tak jarang dia menerima kekerasan fisik, dari tendangan di tulang kering, pukulan tas, hingga tamparan. Adnan sempat menyiapkan hati andaikan Yuniza akan menghadiahkannya pukulan. Namun perempuan itu malah menunjukkan perhatian kepada anak-anaknya. Perhatian kecil itu terasa istimewa.

"Yaaaah!" seru Nadira.

Adnan mengenyahkan Yuniza dari kepalanya. "Hm?" Adnan keluar dari kamarnya melalui pintu kaca yang terhubung ke alfresco.

"Aku diajak temanku ke Senci. Boleh, Yah?" Nadira melompat dari kursi.

"Don't let her go. She may waste her pocket money for trash," Akbar menyela dari pinggir kolam. Entah sejak kapan anak itu sudah berenang ke tepi.

"Anak kecil nggak usah ikut campur. Baca buku kamu aja sana." Nadira melotot.

Adnan menggeleng. Ketenangan yang sempat dia banggakan dari dua anaknya ini hancur. "Akbar, Ayah sudah ingatkan, jangan bicara kasar ke Kak Dira."

"I didn't, Yah." Akbar mengangkat kedua bahunya. "I remind you her habit."

"Kamu ngatain trash ke koleksi aku." Nadira bertolak pinggang.

"What should I say about those weird books?"

"Itu komik. Komik bukan buku aneh."

"You don't get anything from those."

"Aku terhibur!"

"Is it really important reading books for entertaining? You wasted your time. You should read something knowledgeable."

"Aku nggak perlu buku-buku di kamar kamu. Aku puas baca komik." Nadira menoleh ke Adnan penuh tuntutan. "Masukin Akbar ke SD Negeri aja kalo masih ngoceh bahasa Inggris di rumah. Dia udah melanggar aturan berbahasa Indonesia selama di sini."

"Noooo! Ayah, aku suka english." Akbar memanjat keluar dari kolam.

"Akbar nggak bisa main sama anak sini karena dia terus-terusan ngoceh soal terbentuknya galaksi dan teori energi. Anak-anak di sini mikir Akbar itu aneh."

"Aku nggak aneh."

"Kamu aneh."

"Kak Dira yang aneh."

Grapefruit & RosemaryWhere stories live. Discover now