21

3K 594 32
                                    

"Rey, Ayah ingin bicara sebentar." Adnan berdiri di muka kamar putra sulungnya.

Reyyan pulang duluan bersama Akbar menggunakan mobil yang berbeda dengannya. Adnan memerlukan waktu yang lumayan lama untuk terbebas dari kerumunan ibu-ibu dan masih dicegah pulang oleh pihak administrasi klinik serta mendengarkan ceramah dokter. Dia tiba di rumah dua jam setelah Reyyan. Dia tahu dari Nandar yang berpapasan dengannya di depan. Sopirnya sudah pergi lagi untuk menjemput Dira. Dia tidak bertanya yang lainnya ke Nandar. Dia yakin Reyyan cukup dewasa untuk memilah obrolan tentang keluarga ke pekerja di rumah.

Reyyan menoleh. Wajahnya menjelaskan betapa enggannya remaja itu. "Ayah mau ngomongin kakak di klinik?" tanyanya dengan suara dingin.

"Iya." Adnan tidak bisa menunda berbicara ke Reyyan. "Kita ngobrol sebentar. Kamu mau di mana? Di sini atau di ruangan lain?"

Reyyan menggeleng. Dia mengangkat badannya dari kursi belajar. "Seberapa penting ngomongin kakak itu dibanding urusan Akbar?"

Inilah alasan Adnan ingin segera meluruskan kesalahpahaman Reyyan. Anaknya cerdas dan sensitif. Reyyan akan mudah memahami penjelasannya dan itu akan membantunya dalam menjelaskan ke Akbar. "Dua-duanya penting. Dimana Akbar?"

"Di kamarnya." Reyyan mengambil langkah duluan pergi ke kamar Akbar.

Pintu kamar Akbar terbuka sedikit. Reyyan mendorong daun pintu dan masuk. Kasur di tengah ruangan kosong. Namun Reyyan tidak terkejut. Dia berjalan memutari kasur ke bagian yang terjauh dari pintu. Dia berjongkok. Adnan mengikuti dalam diam. Ketika dia menemukan anak bungsunya tidur meringkuk di lantai, dia terkejut bukan main. Dia mendekati Akbar.

"Akbar, pindah ke kasur, ya? Di sini nggak nyaman," bujuk Adnan.

"Nggak mau. Nggak mau sama Ayah." Akbar memutar badannya menghadap kasur. Nada bicaranya kental oleh kekesalan.

"Akbar, kamu lagi sakit. Ayah bantu pindah ke kasur. Sini."

Bukannya menerima uluran Adnan, Akbar bangkit dan melompat menerjang Reyyan. "Abang is better than you," desisnya. Dia memeluk leher Reyyan dan menyembunyikan wajahnya di situ.

Reyyan mendesah. Kemudian bangkit sambil menggendong Akbar. Dia duduk di tepi kasur. Sementara Akbar duduk di pangkuannya. "Ayah masih sempat ngomong sama dokter Faris?"

"Iya. Kata dokter, ada banyak penyebab Akbar sakit. Untuk sementara, kita fokus mengobati Akbar. Ayah sudah bawa obatnya. Ada di meja makan. Kita makan terus kamu bantu Akbar minum obat."

Reyyan memandang Adnan penuh kesangsian. "Akbar ... dia kenapa ngambek sama Ayah?"

Adnan sudah menduga Reyyan akan sepeka ini terhadap adiknya. Dia tidak bisa menyimpan cerita ini sendiri. Sekarang atau nanti Reyyan akan tahu, walau dia agak berat untuk menceritakan. "Akbar minta sesuatu yang nggak bisa Ayah kabulkan."

"Apa yang Akbar minta tapi nggak bisa Ayah kabulkan?" Reyyan menunjukkan sikap curiga.

"Itu..." Adnan frustasi. Dia tidak pernah menyangka perkenalannya dengan gadis muda akan membawanya dalam situasi ini. "Akbar minta-"

"I asked Ayah to marry her," potong Akbar. Anak itu mendongak ke Reyyan. Kemudian beralih ke Adnan dengan sorot mata yang menggambarkan kekecewaan. "That kakak, I want her be my mom."

Adnan ingin menyahut tetapi hatinya sakit melihat Akbar yang meneteskan air mata. Akbar masih kecil, di sisi lain dia tahu betapa unik anaknya. Menemukan Akbar menangis merupakan hal langka sekaligus mengerikan. Jika ada hal yang tak ingin Adnan lihat, tak lain ialah tangis sedih Akbar.

"Kakak itu pacar Ayah?"

Pertanyaan Reyyan mengalihkan Adnan. Dia segera menggeleng. "Bukan. Kami hanya saling kenal. Akbar salah paham tentang hubungan kami."

Grapefruit & RosemaryWhere stories live. Discover now