23

3.6K 636 38
                                    

Yuniza ingat dengan baik satu foto di ponsel kakaknya. Foto sebuah rumah. Saat itu, kakaknya mengoceh tentang si pemilik rumah dan kenapa rumah itu didesain demikian. Yuniza tidak tertarik pada cerita kakaknya. Dia lebih suka memperbesar foto dan melihat detail facade rumah sembari membayangkan mobilnya akan diparkir di carport dan tanaman pisang-pisangan menyambutnya lewat goyangan daunnya yang lebar. Dia ingin memiliki satu rumah yang seperti itu. Rumah yang terlihat hangat, sederhana, dan nyaman. Bukan bangunan dua atau tiga lantai yang angkuh. Yuniza adalah salah satu contoh penyuka rumah satu lantai padahal rumah orang tuanya dua lantai.

"Rumahnya di mana?" tanyanya.

"Di kebayoran. Kamu tuh beneran nggak dengar cerita Kakak, ya?" Yessy berdecak.

"Aku dengar kok. Kakak yang mengurus pemilihan material batu alam buat pagarnya. Bagus loh. Ada tanaman rambat gitu jadi, nggak kelihatan kaku." Yuniza hanya memerhatikan sampai di situ. Filosofi dan jejak masa lalu sang pemilik yang Yessy ceritakan luput dari pendengaran.

"Kamu setuju sama ide Kakak?" Yessy tersenyum bangga.

Yuniza mengangguk. Dia tahu alasan Yessy ke kamarnya adalah untuk memperoleh sedikit apresiasi atas kerja kerasnya. Suaminya terlalu pendiam, sementara anaknya belum pulang karena sibuk berkencan. Orangtua mereka, Yuniza tahu kalau Yessy menyadari minat orangtua mereka sudah dimonopoli Keysha. Bertukar cerita bersama orangtua tidak lagi memberikan sensasi bagi mereka.

"Aku ingin punya satu yang kayak gini. Nanti Kakak rekomendasiin, ya." Yuniza menggulir foto yang lain. Kali ini bagian foyer. Jarang ada rumah yang mementingkan keberadaan foyer, terutama untuk rumah satu lantai. Menemukan satu yang seperti ini, Yuniza tambah cinta.

"Kakak bakal buatin. Tapi ada tanah dan dana dong." Yessy membuat tanda uang menggunakan jempol dan telunjuk.

"Emangnya mahal model rumah begini?" Yuniza mendelik.

"Menurut kamu aja. Nih..." Yessy merebut ponselnya, lalu memperbesar foto bagian dalam rumah dan menyorot ke lantai. "Ini lantainya marmer dari Eropa. Dindingnya itu double bata. Langit-langitnya tuh drop ceiling. Perhatiin pohon mangga ini. Kami harus tanam pohon mangga sebesar ini, terus bikin rumah pohon. Kamar mandinya aja udah nggak usah ditanya. Toilet duduknya pakai sensor."

Yuniza mengamati foto-foto yang dipamerkan Yessy. Kemudian mengernyit. "Mana kamar asisten rumah tangganya?"

"Oh itu. Nggak ada. Ruangan ini buat laundry." Yessy beralih ke denah rumah.

"Rumah orang kaya kok nggak ada kamar asisten?"

"Emang nggak pakai art."

"Istrinya yang cuci dan setrika pakaian, sekalian bersih-bersih rumah? Capek banget."

"Istrinya owner sudah meninggal. Ih, kamu nggak dengar cerita Kakak." Yessy berubah kesal.

Yuniza terkejut. "Cerita yang mana? Ceritain dong."

"Nggak. Males. Kamu nggak merhatiin Kakak cerita." Yessy menyentak tangan Yuniza yang menggoyangkan lengannya. "Dari tadi Kakak udah cerita panjang lebar."

"Maaf, Kak. Cerita lagi ya. Kenapa owner nggak pakai art? Kan istrinya udah nggak ada, harusnya dibantu orang lain pekerjaan rumahnya."

"Nggak mau. Kakak kesal."

"Kakak! Aku! Minta maaf!" rengek Yuniza.

Pintu mendadak dibuka dan muncul ibu mereka dengan muka marah. "Nis, dimana Keysha? Kenapa belum pulang juga? Sudah malam nih," katanya menggebu.

Malam itu Yessy tidak melanjutkan ceritanya dan Yuniza lupa karena disuruh ibunya menelepon Keysha supaya pulang. Tak pernah disangka oleh Yuniza, dia akan melihat sendiri rumah yang pernah ditunjukan kakaknya.

Grapefruit & RosemaryWhere stories live. Discover now