5

4.3K 631 27
                                    

"Kenapa masih di sini?"

Adnan berhenti mengetik. Dia mendongak. Bowo berdiri di seberang mejanya dengan muka gelisah.

"Gue harusnya di mana saat jam kerja?" sahut Adnan. Dia menyukai ruangan yang tenang. Suasana yang demikian akan membantunya fokus bekerja. Ketika Bowo datang ーyang mana biasanya tanpa pemberitahuanー Adnan harus mempersiapkan diri. Biasanya pekerjaan jadi tertunda.

"Hari lo ada pertemuan!" seru Bowo.

"Jadwal gue kosong dari pertemuan hari ini." Adnan menjawab cepat, tetapi dia agak ragu. Karena itu dia mengambil tab dan memeriksa jadwal hariannya. Benar saja. Hari ini dia bebas dari segala pertemuan.

"Bukan meeting sama customers atau vendor. Maksud gue, lo ada pertemuan sama cewek." Bowo mulai tak sabaran.

"Cewek?" Alis Adnan bertaut. Dia tidak mengerti maksud Bowo. Kemudian ingatan itu terbit. Matanya membelalak. "Lo belum batalin kopdar itu?"

Bowo mengangkat tangannya bagai penjahat yang menghindari sergapan polisi. "Eits, bentar. Technically, gue nggak bisa batalin pertemuan lo dan si cewek. Gue nggak punya nomor dia, selain yang ada di ponsel lo."

"Kalo gitu, lo telepon cewek itu. Kasih tahu kalo pertemuan itu batal. BATAL!" Adnan berdiri dan menyodorkan ponselnya. Wajahnya tak lagi santai.

Bowo mendorong ponsel tersebut. "Cewek itu pasti kecewa kalo gue bilang kemarin itu gue yang balas chat. Dia pasti ngerasa dipermainkan."

"Lo bisa mikir sampai ke situ, kenapa kemarin nggak mikir dampaknya?" sentak Adnan.

"Kemarin gue akui gue salah. Sorry." Bowo tersenyum kecut. "Sekali ini, berbaik hati ke cewek itu. Datang ke sana. Sebentar juga nggak apa-apa asal lo sudah ketemu muka. Dia pasti nggak akan terlalu kecewa kalaupun lo nggak cocok."

Adnan mendesah. Dia memiliki ibu, adik perempuan, juga anak perempuan. Seketika pikirannya melayang pada mereka andai janji yang dibuat dibatalkan seseorang. Kekecewaan itu pasti lebih besar karena perasaan perempuan yang lebih lembut.

"Nan, datang ya. Ya?"

Bisa saja Adnan marah. Dia berhak atas itu. Namun yang meluncur dari mulutnya bukanlah makian, melainkan pertanyaan, "Dimana tempatnya?"

Wajah Bowo berubah cerah. "Di Jimbaran resto."

Adnan melotot. "Lo minta gue ke Jakarta Pusat dari Cikupa?!"

Bowo tertawa kering. Matanya berputar ke arah lain, menghindari tatapan marah sahabatnya.

MoM

"Bowo," Adnan menggeram. Dia merasa gila menatap kepadatan jalan. Dan tambah gila mendengarkan suara di seberang teleponnya.

"Om Bowo nggak salah! Ayah jalan-jalan nggak ngajak aku?"

Suara imut yang bertanya itu bernada menuntut. Ingin sekali Adnan menyangkal, tetapi dia terlalu letih untuk memikirkan kebohongan lain karena begitulah sistem kebohongan. Satu kebohongan harus ditutupi kebohongan lain. "Ayah pergi ketemu seseorang. Bukan jalan-jalan." Adnan mengatur suaranya tetap tenang.

"Ayah kebiasaan nih. Jalan-jalan nggak ngajak aku. Ayah ke hotel, kan? Mau nginap, ya? Mau berenang, ya?"

Jawaban jujur Adnan tidak diperhatikan bocah di seberang. Dia mengurut pelipisnya. Kemacetan cukup buruk sementara tujuannya begitu dekat ditambah omelan menggemaskan melalui telepon, Adnan bimbang mesti marah atau tertawa.

"Ayah nggak menginap di hotel. Ayah juga nggak berenang di hotel. Ayah mau ketemu seseorang. Terus pulang. Kamu lagi apa?" Adnan berusaha mengalihkan pembicaraan.

Grapefruit & RosemaryWhere stories live. Discover now