[07] KHANSA'S DESTINY

2.5K 208 11
                                    

Khansa tidak langsung pulang, melainkan pergi ke taman yang biasa ia kunjungi. Malam ini udara sangat dingin, semilir angin dimalam hari menyambut kedatangan Khansa.

Khansa duduk di bangku panjang, ia merogoh ponselnya, membuka aplikasi berwarna hijau, WhatsApp.

Gbrn

Ke taman yang biasa kita kunjungi
Ada sesuatu yang perlu aku omongin sama kamu.
Aku tunggu.

Setelah mengirim pesan untuk Gibran, Khansa menyenderkan punggungnya di bangku tersebut. Seraya menunggu kekasihnya datang, Khansa menikmati bintang-bintang di langit.

Ah, dirinya jadi rindu dengan masa kecilnya. Andai waktu bisa diulang kembali, Khansa ingin selalu bersama keluarga kecilnya, abba, uma, dan Khanza.

Khansa menatap sendu langit malam, "Kangen banget sama uma, abba, bang Khanza." Ujar Khansa seraya tersenyum getir.

"Bang Khanza pasti di sana udah jadi lelaki seperti abba yang pintar agama, nggak kayak Khansa, Maafin Sasa ya uma, abba. Kalian pasti kecewa sama Sasa, iya Sasa tahu kalian kecewa, tapi Sasa lebih kecewa kalian meninggalkan Sasa seorang diri di sini," Lirih Khansa dengan mata yang sudah berair.

"Khansa," Suara berat itu mulai menghentikan ucapan Khansa.

Khansa menoleh mendapati Gibran, perlahan bibirnya terangkat membentuk senyuman. Khansa menepiskan air matanya yang akan turun, ia tidak mau Gibran tahu dirinya tengah menangis.

"Eh, Gibran?"

Gibran duduk di samping Khansa, menatap bola mata Khansa yang diisi dengan setitik air, apa Khansa sudah menangis? Pikir Gibran.

"Apa yang mau kamu omongin?" Tanya Gibran tanpa basa-basi.

Khansa tersenyum tipis, berusaha untuk bersabar menghadapi kekasihnya ini, "Aku nggak mau kita renggang,"

Kening Gibran mengernyit, "Renggang?"

Khansa mengangguk, "Iya, jadi lebih baik kamu ceritakan aja, tolong jelaskan apa kesalahan aku?"

Gibran tertegun, ia kembali menatap Khansa dengan dalam, "Kamu menginginkan lelaki yang paham agama seperti abbamu, Sa?"

Khansa mengernyit, "Maksud kamu?"

Gibran terkekeh, "Bukankah kamu yang bilang sendiri, jika kita tidak akan pernah bersatu. Dan kamu menginginkan suami yang seperti abbamu?"

"Kapan aku bilang seperti itu, Gib?"

Lagi-lagi Gibran dibuat terkekeh, gadis di sampingnya ini pura-pura lupa atau memang lupa?

"Di toilet, kan?" Tanya Gibran menaikkan sebelah alisnya keatas.

"Toilet?"

"Iya, tapi kamu ngomong itu waktu sama Gladys Naomi, bukan aku."

Deg!

Ya, Khansa ingat! Sungguh, ia ingat pernah mengatakan hal seperti itu.

"Gladys sama Naomi ngasih tahu sama kamu?" Tanya Khansa.

KHANSA'S DESTINY [END]Where stories live. Discover now