Epilog

3.6K 335 44
                                    

Selain cinta dan kepercayaan, mempunyai visi misi hidup yang sama atau selaras juga penting dalam sebuah hubungan. Menurutku satu hal ini menjadi kunci akan kesuksesan sebuah pernikahan. Selain itu, satu frekuensi dalam pola pikir juga turut menjadi unsur penting dalam sebuah hubungan. Bagaimana bisa kita menghabiskan hidup dengan orang yang tidak bisa kita ajak ngobrol karena tidak sefrekuensi.

Kalau diibaratkan, doi pake Telkomsel sementara Aku pake M3. Yang satu sinyalnya kuat, yang satu lemot. Ya susah. Mau sms atau telpon aja tarifnya selisih jauh. Tapi ... Ini bukan soal kartu, melainkan soal frekuensi. Walau begitu nggak semua yang satu frekuensi bisa membina sebuah hubungan. Ada lagi yang namanya pemahaman.

Saling memahami satu sama lain itu juga tak kalah penting. Percuma satu frekuensi kalau nggak mampu menyelami hati satu sama lain. Percuma bisa diajak berkomunikasi, kalau dua-duanya nggak bisa saling mengerti. Ya zonk juga ujungnya.

Kalau ditanya kenapa Aku mau menjalani pernikahan ini selain karena rasa suka itu sudah tumbuh di organ coklat sana. Aku dengan tegas akan menjawab bahwa Aku dan Mas Akbar memiliki visi misi hidup yang sama. Hal itu kami ketahui di malam ketika Aku dan Mas Akbar berbaikan melalui deep talk yang berujung sampai tengah malam.

Mas Akbar bilang bahwa menikah merupakan ibadah terpanjang dalam hidup, dan visinya menikah tak jauh dari kalimat tersebut. Katanya dia hanya ingin menjadikan ibadah terpanjang itu sebagai perjalanan yang mampu membuatnya mendapatkan ridha Allah. Dan entah kebetulan atau apa, kami punya tujuan yang selaras sebab Aku hanya ingin menjadikan pernikahan ini sebagai jalan yang dapat membawaku ke surga-Nya dengan cara beribadah dan berbuat baik ke sesama.

Aku tak mungkin dapat menginjakan kaki ke surga apa bila Aku tidak mendapat ridha-Nya, dan Mas Akbar juga tidak mungkin mendapat ridha-Nya apa bila ia tidak taat pada perintah-Nya dan juga menyebarkan kebaikan di bumi ini.

"Salah satu alasan kenapa saya merasa cocok sama kamu karena saya perhatiin kamu orang yang dapat mendampingi saya buat mewujudkan tujuan utama saya menikah. Selain itu kamu juga partner yang baik dalam hal apapun."

"Tapi Aku kerja loh, Mas. Cowok-cowok kan biasanya pengen punya istri yang mendedikasikan seluruh waktu dan hidupnya terbatas pada keluarganya aja."

"Saya nggak mau membatasi ruang gerak kamu, Nu." Dia mengusap kepalaku lalu kembali berujar, "selagi pekerjaan kamu nggak membuat kamu lalai terhadap tanggung jawab kamu sebagai seorang istri, saya gapapa."

"Tapi saya nggak mau munafik kalau saya memang pengen punya pasangan yang bisa fokus pada keluarga. Saya percaya bahwa seorang istri atau ibu merupakan madrasah pertama bagi anak-anaknya. Bukan berarti tugas mendidik hanya kewajiban seorang ibu aja, karena mendidik dan membesarkan anak memang kewajiban orang tua, baik ibu atau Ayah. Apa bila dia bekerja tentu hal itu akan mengurangi waktunya untuk menjalankan peran sebagai seorang ibu. Terlepas dari itu, beban yang ia tanggung juga menjadi berlipat ganda. Seorang pekerja dan juga seorang ibu, kamu emang nggak capek?"

Aku tercenung.

"Apa lagi kalau alasan dia bekerja semata-mata untuk mendapatkan uang tanpa adanya hal mendesak padahal suaminya sudah cukup mampu untuk mencukupi kebutuhan dan keinginan dia. Kecuali memang pasangan tersebut sepakat untuk kerja bareng-bareng agar masa depan keluarganya terjamin. Makanya saya tanya, alasan kamu pengen kerja itu apa?"

Pertanyaan tersebut menciptakan keheningan selama beberapa saat karena Aku mulai menanyakan pada diri sendiri alasan mengapa Aku masih bekerja setelah menjadi seorang istri.

"Sampingan aja sebetulnya, bisa dianggap hobi juga." Karena toh menikah dengan Mas Akbar tidak membuatku sangat sibuk hingga Aku masih punya waktu luang yang lumayan banyak. Sayang kalau Aku nggak menggunakan waktu luang tersebut pada hal-hal bermanfaat.

Unexpected WeddingWhere stories live. Discover now