UW-18

3.6K 272 4
                                    

Happy Reading, Dear.
...

Acara telah selesai saat zuhur tadi, dan Aku sangat mensyukuri hal tersebut karena akhirnya Aku terlepas dari high-heels yang sungguh sangat menyiksa kakiku. Hingga malam hari tiba pun rasa pegal itu masih menjalari kakiku. Harusnya tadi pagi Aku meminta high-heels yang lebih pendek saja agar kakiku tak sepegal ini.

Malam ini kami sekeluarga sengaja menginap di Vila, dan seusai salat magrib tadi kami berkumpul di halaman untuk sekadar membakar-bakar sate ataupun sosis sebagai perayaan.

"Bunda beneran besok nih pulangnya? Kenapa nggak temenin Hanum aja sih." Aku agak sedih karena besok semua orang akan meninggalkanku dan sengaja mengurungku dengan Mas Akbar di vila ini berduaan untuk seminggu ke depan.

"Kan udah ada Kak Akbar sekarang mah, Teh. Masa harus kita temenin," sahut Andra.

"Ya kan beda, Dra," debatku. Tak tahu saja bahwa kini jantungku mulai berdetak abnormal mengingat malam ini Aku akan mulai berbagi kamar dengan orang lain.

"Harusnya kamu seneng, lho, Neng. Bibi mah kalau nemenin nggak bisa dua puluh empat jam. Akbar mah kan bisa." Bi Nina yang sibuk memakan sosis bakar menyahuti.

"Iya, dulu mah kan tidur aja sendirian. Sekarang lho udah ada yang nemenin. Gak bakalan lagi tuh kamu ngerasa kesepian." Bang Faris turut bersuara.

"Asiek loh, Neng, kalau udah punya suami. Jadi punya temen hidup yang bakalan selalu nemenin kita." Mbak Zahra yang biasanya diam mendadak ikut ambil suara.

"Udah jam delapan nih. Kuy bubar, kasian sama pengantennya." Mang Azzam membubarkan diri pertama kali, diikuti oleh Bi Nina dan Andra kemudian.

"Ekhem, have fun ya, Teh." Dan Andra dengan mulut lemesnya ingin sekali Aku mencubit ginjalnya.

"Abah sih nggak berharap lebih. Ngeliat kalian udah halal gini aja Abah bahagia banget. Semoga pernikahan kalian langgeng sampai mau memisahkan."

Aku dan Mas Akbar mengaamiini doa Abah Yaya sebelum pria tua renta itu menuju kamarnya.

"Cie, malam pertama." Bisikan dari Mbak Dini membuat tubuhku kian gemetar. Sementara itu tanpa aku sadari Mas Akbar menghilang dari pandangan, setelah Aku mencari-cari ternyata pria itu tengah mengobrol dengan Bang Faris.

Karena obrolan mereka tampak serius dan mungkin membutuhkan waktu agak lama, akhirnya Aku memutuskan untuk pergi ke kamar lebih dulu. Di koridor vila aku bertemu dengan keluarga kecil Mbak Zahra.

"Fira mau gak tidur sama Onti?" Aku membujuk Shafira yang masih terjaga walau ia sudah beberapa kali menguap.

"Mau dong."

Aku tersenyum lebar saat Fira mengiyakan, tetapi senyumku tak bertahan lama saat Kak Husein menyela.

"Eh nggak boleh. Lain kali aja ya sayang kamu tidur sama ontinya. Sekarang mah tidur sama Ayah aja."

"Santai aja kali, Num. Ini bukan malam pertama di dalam kubur, kok." Mbak Zahra menepuk pundakku sebelum kemudian melebarkan langkah dan meninggalkanku.

Tiba di depan kamar, Aku ragu memasukinya walau sebelumnya Aku pernah ke dalam. Karena kedinginan mau tak mau Aku langsung masuk. Seperti awal Aku masuk, kamar ini belum berubah sama sekali. Masih tertata dan terhias dengan sempurna.

Bayangkan, di atas kasur kelopak bunga mawar merah bertaburan membentuk love. Selain itu dua angsa yang saling berhadapan dan terbuat dari handuk tampak duduk di atas kasur. Kemudian beberapa lilin aroma terapi berjajar di rak tv dan nakas. Mau kuapakan semua ini?

Karena teringat belum menunaikan salat isya, Aku pun bergegas wudhu kemudian menunggu lelaki itu untuk menunaikan salat secara berjamaah. Rugi banget kalau Aku salat sendirian lagi setelah sah memiliki imam. karena Mas Akbar belum juga memunculkan batang hidungnya, Aku menggunakan waktu untuk berdzikir lebih dulu walau 90 persennga fokusku terdistraksi oleh gadget. Beberapa saat kemudian derit pintu terdengar pelan. Dari derap langkahnya saja Aku sudah dapat mengetahui sosoknya. Dadaku langsung berdentum hebat.

Unexpected WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang