UW-54

2.8K 356 47
                                    

Jakarta siang itu cerah berawan. Rencananya sore ini Aku mau pergi menjenguk Humaira dan bayinya sekaligus temu kangen sama Azizah juga. Kali ini Aku sangat excited untuk menemui mereka mengingat hubungan kami yang sudah mulai rekat kembali.

Semenjak pertemuanku dengan Kak Adam waktu itu, Humaira juga ikut mengirimiku pesan. Bertanya tentang kapan Aku akan ke Jakarta untuk bertemu dengan keponakanku a.k.a buah hati Humaira dan Kak Adam.

Meski bahagia dengan hubungan persahabatanku yang kembali membaik, nyatanya ada kesedihan lain yang kini mengurungku. Asalnya jelas dari hubungan pernikahanku.

Mas Akbar seolah nggak berniat untuk menghubungiku, apa lagi untuk berbaikan denganku. Sejak pertengkaran itu komunikasi kami terputus sepenuhnya. Padahal ini sudah dua hari berlalu. Oh, tentu saja. Dia mana mungkin memgingatku, pria itu pasti tengah sibuk mengurus kafenya yang berada di Surabaya.

Dibanding menyelesaikan prahara rumah tangga kami, Mas Akbar lebih memilih menyelesaikan urusannya di Surabaya. Dari sini saja sudah terlihat bahwa Aku bukan prioritas utamanya.

Dan jangan harap Aku akan memulai komunikasi kembali sebelum lelaki itu meminta maaf! Bubble  pesan terakhir pada roomchat kami aja masih dua hari yang lalu dan belum berubah sampai sekarang padahal saat ku-cek lelaki itu sedang online. Nggak berniatkah dia untuk sekadar menyapaku?

Ah, lagi-lagi seharusnya Aku nggak berharap sama dia.

Tapi... harus kuakui Aku merindukannya. Semalam saja Aku tidak bisa tidur nyenyak karena teringat dengan Mas Akbar. Biasanya tangan kekarnya melingkar erat di perutku, dan semalam boro-boro ada yang meluk, bagian kiri di kasurku saja kosong.

Aku membantingkan ponsel ke atas kasur saat kulihat ia meninggalkan aplikasi whatsapp satu menit yang lalu. Setelah itu Aku juga memukul-mukul kasur dan memekik frustrasi seperti orang gila.

Sebuah salam mengambil alih atensiku. Segera Aku pergi keluar kamar untuk membukakan pintu, takutnya ada tamu penting yang datang. Aku cukup terbengong saat menemukan Kak Riyana yang sudah berdiri di depanku dengan sebuah senyum hangat yang tersemat di kedua bibirnya.

Mari kita bermain tebak-tebakan, apa kiranya tujuan Kak Riyana menemuiku. Dahiku bahkan mengerut dalam karena ia mengetahui rumahku. Tapi ... bukannya Bang Faris itu teman SMA-nya Mas Akbar? Dan Mas Akbar juga teman SMA-nya Kak Riyana, apa mungkin Bang Faris dan Kak Riyana juga saling mengenal?

"Duduk dulu aja, Kak. Biar Aku buatin minum dulu," sambutku dengan hangat walau rasanya Aku ingin mencak-mencak pada Kak Riyana. Berani-beraninya dia memeluk lelaki yang sudah beristri, disaksikan oleh istrinya pula lagi.

"Jangan." Kak Riyana mencekal tanganku.

"Kakak nggak datang ke sini buat minum, tapi Kakak datang kesini buat nemuin kamu."

Aku melebarkan senyum. Bagaimana Kak Riyana sedang hamil dan dia datang ke sini sendirian, dia pasti kecapean bukan? Eh, bentar, kok Kak Riyana ada di Jakarta? Dia kan tinggal di Bandung. Kedatangan Kak Riyana sangat membuatku bingung.

"Gapapa kali, Kak. Minuman di sini juga cuma ada air putih bukan chat time apa lagi kopi janji jiwa." Aku menyengir, berusaha mencairkan suasana yang agak terasa kaku dan canggung. Mau  se-nggak suka apapun Aku sama orang, Aku tetap harus memperlakukannya dengan baik.

"Yaudah-yaudah, Kakak tunggu di sini kalau begitu. Jangan lama-lama ya."

Sejurus kemudian Aku masuk ke dapur. Mengambil segelas air putih dingin dan mengambil beberapa buah-buahan dari lemari es. Aku peduli sama Kak Riyana, terutama kandungannya. Jiwanya pasti sedang tidak baik-baik saja mengingat Kak Zaki tengah terbaring koma di ranjang rumah sakit, setidaknya badannya harus tetap sehat.

Unexpected WeddingWhere stories live. Discover now