UW-32

3.4K 320 12
                                    

Sebelum pindah ke rumah Bu Mela, Aku ketakutan setengah mati, cemas setiap saat karena Aku tak pernah sekalipun menyiapkan diri untuk setidaknya belajar cara bersosialisasi dan meleburkan diri dengan keluarga baru yang kini telah menjadi bagian hidupku.

Namun, setelah dijalani semua ketakutan dan perasaan semacam itu hanyalah berada di kepalaku saja. Semuanya tak seperti yang Aku pikirkan. Rasa berat ketika Aku harus meninggalkan rumah Bi Nina itu sirna bahkan hanya dalam dua hari. Karena Aku langsung dibuat nyaman dan jatuh cinta pada kehangatan keluarga Mas Akbar.

"Sejak kecil Akbar tuh terbiasa untuk memendam segalanya sendirian. Dia nggak pernah mau cerita kalau ada apa-apa yang terjadi sama dia. Waktu itu Akbar masih kuliah saat Rayhan meninggal. Anehnya saat Husein nangis sesenggukan, Akbar nggak sama sekali nangis atau sedih. Wajahnya datar banget, eh dua hari setelahnya dia diam-diam nangis di kamar sendirian.

""Dari seluruh keluarga, cuma dia yang dinginnya minta diangetin. Saking dinginnya Akbar tuh jadi orang yang susah buat disentuh. Makanya Abah gak kaget saat Akbar masih setia melajang di usia yang terbilang sudah cukup matang. Mungkin cewek-cewek pada mundur duluan kali ya."

Aku menyimak cerita Abah Yaya dengan seksama. Saat ini Aku sedang berada di kamar Abah Yaya dan sedang menyuapinya makan. Kondisinya masih suka nge-drop padahal Mas Akbar sudah menurutinya untuk menikah.

"Saat Mela bilang Akbar udah ada calonnya, Abah girang banget. Makanya Abah mendesak kalian buat nikah biar kalian nggak buang-buang waktu menjalin hubungan di luar pernikahan. Abah juga kaget karena kamu bilang kalau kalian udah cukup lama kenal, karena Akbar nggak pernah sekalipun menceritakan kamu. Padahal tiap kali Abah minta dia buat mulai mencari pasangan dia nggak pernah menanggapi dengan serius bahkan nggak pernah memberikan sinyal kalau dia udah punya calon."

Rasa penasaranku dari tempo lalu, kini terjawab sudah bahkan tanpa Aku bertanya dan mencari tahu sekalipun. Pantesan Abah Yaya se-excited itu dan se-keukeuh itu untuk mempercepat pernikahan kami yang nyatanya hanya berawal dari sandiwara.

Jika saja Abah Yaya mengetahui hal itu, mungkin ajal akan dapat menjemputnya dengan cepat mengingat jantungnya bermasalah.

"Sebelumnya Mas Akbar pernah menjalin hubungan lain gak, Bah?" tanyaku, kali aja Aku akan mendapatkan tiket ekspres untuk mengetahui semua hal tentang Mas Akbar dari Abah Yaya. Karena katanya, Mas Akbar lebih dekat dengan Abah Yaya. Wajar bila Mas Akbar akan selalu patuh pada beliau.

"Lebih baik kamu tanyakan langsung sama Akbar, Neng. Biar dia yang menjelaskannya secara langsung biar nggak terjadi ke-salah pahaman."

Aku agak kecewa saat Abah Yaya menjawab seperti itu. Mungkin caraku yang salah, seharusnya Aku tida to the point seperti itu dan menggunakan cara yang lain agar orang-orang di sekitar Mas Akbar mau menceritakan masa lalu Mas Akbar dengan suka rela.

"Kamu, kenapa bisa suka sama Akbar?"

Aku gelagapan saat Abah Yaya mengajukan pertanyaan seperti itu. Agak berat rasanya untuk membohongi Abah Yaya. Namun, jujur bukanlah sebuah pilihan yang dapat diandalkan.

"Aku juga gatau kenapa Aku bisa suka sama Mas Akbar. Pertama kali ketemu sama dia, image dia di mata Aku buruk karena sikap dinginnya. Tapi seiring berjalannya waktu image itu berubah sedikit demi sedikit, sampai Aku sadar kalau dia nggak seburuk itu dan nggak sedingin itu. Cuma tampilan luarnya aja yang beku, dalamnya mah cukup anget ternyata."

Semua yang kukatakan tadi murni kejujuran dari dalam dasar hati setelah Aku mengenal Mas Akbar selama dua bulan kurang.

" Yakin cuma baiknya doang yang kamu liat, Neng?"

Pertanyaan Abah Yaya yang kedua kalinya sangat unexpected banget.

"Mas Akbar agak ngeselin ya, Bah. Pokoknya Aku berlatih buat banyak-banyak sabar dari dia. Dibanding dingin, Mas Akbar lebih ngeselin."

Unexpected WeddingWhere stories live. Discover now