UW-13

2.9K 260 6
                                    

Happy Reading, Dear.

...

"Saya cuma bawa satu Majmu. Baca Yasinnya barengan aja."

"Aku lagi haid, Mas."

"Oh."

Usai percakapan singkat itu Mas Akbar memulai membaca surat Yasin sendirian. Kami sedang berada di TPU saat ini untuk ziarah ke makam Ayahnya Mas Akbar.

Sebelumnya kami sudah tawasul terlebih dahulu dengan Mas Akbar yang memimpin. Giliran membaca surat Yasin aku mundur karena sedang haid, walau dalam hati Aku turut mengikuti bacaan Mas Akbar. By the way, suara Mas Akbar bagus juga. Tajwid dan makhrajnya juga bagus, nggak heran sih kan dia lulusan pesantren. Besok-besok kayaknya aku bisa les gratis soal Tahsin sama Mas Akbar. Lumayan kan punya suami bisa ngaji, bisa Aku andelin.

Reyhan Al-Faruk namanya-nama Ayah Mas Akbar. Meninggal di tahun 2015 dengan usia 51 tahun. Untuk saat ini hanya informasi itulah yang kuketahui tentang Almarhum Ayah Mertuaku. Lain kali Aku akan mengkorek lebih dalam, setidaknya Aku ingin mengetahui wajah mertuaku.

Sebelum ke sini kami sempat membeli bunga juga saat di jalan yang saat tiba di lokasi Mas Akbar langsung menaburkannya ke atas kuburan Sang Ayah. Ada binar sedih di pelupuk matanya, rautnya juga tampak muram begitu tiba di sini. Aku bisa mengerti perasaannya karena kami bernasib sama. Bedanya dia yatim, sementara Aku yatim piatu.

"Ada yang mau kamu sampaikan dulu sama Ayah atau mau langsung pulang?"

Kalau boleh jujur Aku pengin langsung pulang saja, soalnya matahari tepat berada di atas kepalaku. Tetapi, akan sangat tidak sopan bila Aku pergi begitu saja.

"Sebentar, Aku mau ngomong dulu sama Ayah," kataku sembari menoleh pada Mas Akbar dengan mata yang menyipit saking silaunya karena sinar matahari.

Mas Akbar hanya mengangguk pelan, lalu berdiri agar Aku bisa berpindah posisi menjadi lebih dekat pada nisan Ayah. Untuk beberapa saat Aku mengusap nisan tersebut, ada banyak hal yang ingin Aku sampaikan, tapi dari sekian banyak kalimat yang bergumul di kepala, Aku hanya bisa mengucapkan beberapa kalimat ini.

"Assalamualaikum, Ayah. Gimana kabarnya di sana? Semoga Ayah ditempatkan di sisi terbaik-Nya. Oh iya, kenalin Aku Hanum. Istrinya Mas Akbar alias putra bungsu Ayah. Kami baru menikah kemarin, doakan kami, ya."

Hanya itu, setelahnya kami berdua pamit undur diri. Jarak dari pemakaman ke parkiran lumayan jauh, kepalaku terasa berdenyut nyeri, ditambah ini hari pertamaku haid. Berkali-kali lipat dah sakitnya, kalau bisa ingin sekali Aku berteleportasi ke rumah agar bisa tidur secepatnya.

Aku mencekal lengan Mas Akbar sebagai tumpuan, ia yang heran langsung menghentikan langkah dan berbalik ke arahku.

Aku tersenyum ketir. "Boleh, ya. Aku gak kuat jalan soalnya," cicitku sangat pelan.

"Kenapa?" Ada raut khawatir yang tercipta pada ekspresi wajahnya.

"Cuma kram perut doang, ini hari pertama haid aja," kataku kemudian terkekeh. Karena biasanya Aku hanya akan menghabiskan sepanjang waktu di kamar saat hari pertama haid. Kramnya nggak separah itu juga, dan Aku jarang mengalaminya. Tapi pinggulku kadang terasa sangat pegal, dan moodku akan sangat ambyar di hari pertama.

"Eh." Aku agak terkejut saat Mas Akbar memegang bahuku lalu memapahku pelan-pelan. Jujur, detak jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya. Ini kali pertama Aku berinteraksi sedekat ini dengan seorang pria.

"Harusnya kamu bilang dari awal kalau kamu gak bisa, jangan maksain kayak gini. Saya juga kan yang repot."

Jangan salahkan Aku jika nanti Aku membencinya alih-alih mencintainya. Mulut Mas Akbar kurang ajar soalnya.

Unexpected WeddingDonde viven las historias. Descúbrelo ahora