UW-53

3.1K 327 46
                                    

Setelah pertengkaran hebat kemarin malam, esoknya Aku mengungsi ke rumah Bi Nina. Bukan sengaja menghindar, tapi memang Mas Akbar sendiri yang menitipkanku pada Bi Nina. Sementara ia? Lelaki itu dengan santainya pergi ke Surabaya tanpa sekalipun berniat baikan denganku. Dia hanya pamitan singkat seolah-olah pertengkaran kemarin tidak pernah terjadi dalam kehidupannya.

Dan daripada mendapatkan pertanyaan tentang kenapa Aku nggak ikut Mas Akbar ke Surabaya yang hanya akan menimbulkan kecurigaan bagi keluarga Bi Nina, akhirnya Aku memutuskan untuk pergi ke Jakarta dengan dalih untuk menemui Humaira yang sudah melahirkan. Soalnya kemarin, Kak Adam juga mengundangku untung datang di acara aqiqah bayinya yang akan dilaksanakan esok hari.

Berhubung Aku nggak diizinkan untuk pergi ke Jakarta sendirian, berakhirlah Andra yang jadi tumbal. Dan Aku hanya memasang cengiran lebar saat Mang Azzam menyuruh Andra mengantarku. Wajah Andra seketika muram, tapi ia tidak punya pilihan lain juga tidak punya keberanian untuk menolak titah orang tuanya. Meski agak petakilan, setidaknya Andra masih berusaha taat pada orang tuanya.

Di sepanjang perjalanan menuju Jakarta Aku hanya bisa merenung. Mengingat-ingat ucapan Mas Akbar malam itu saat emosiku meledak. Aku baru sadar kalau Mas Akbar sering kali membalikan ucapanku. Pertanyaan yang kulayangkan kerap kali mendapat pertanyaan yang serupa.

Gamang masih menyelimuti hatiku. Ingin sekali Aku percaya tapi adegan pelukan itu terus membayang di kepala, menyisakan nyeri luar biasa dalam dada. Kepercayaan yang kubangun padanya mendadak sirna dalam satu kedipan mata.

Aku ... cemburu dan Aku takut kehilangan Mas Akbar. Aku takut seandainya kecelakaan Kak Zaki membuka ruang untuk dekatnya dua orang tersebut yang mungkin saja akan memicu mekarnya kembali perasaan Mas Akbar. Dan hal itu juga ketakutan sama yang dialami oleh Mas Akbar.

Dan bagaimana bisa Mas Akbar menuduhku seperti itu. Dia bahkan meragukan perasaanku. Harusnya Mas Akbar juga menerima kalau pada akhirnya Aku meragukan perasaannya setelah kejadian sore itu.

"Teh jangan ngelamun terus dong. Gue gak bisa ngerukiyah seandainya lu kesurupan ntar."

Aku mengerjap pelan, berusaha mencerna ucapan Andra yang kelewat menyebalkan sebelum akhirnya aku mendesis dan mendelik padanya. Jangan lupa juga lengannya yang kucubit berulang-ulang.

"Lagian gak biasanya lu ngelamun kek gini. Biasanya juga nyerocos terus kek kereta api."

"Gatau ah, males Aku ngomong sama kamu." Aku mengalihkan pandangan ke samping.

"Lu ada masalah ya sama laki lu?"

Sebisa mungkin Aku tidak menampilkan gestur yang akan menambah keyakinan Andra akan tebakannya.

"Masalah apa sih? Tapi gue yakin sih sumber masalahnya bukan Kak Akbar."

Hah?

"Terus kamu nuduh Aku yang jadi akar masalahnya Dra?"

Senyuman Andra melebar dan saat itu juga Aku baru sadar telah masuk ke dalam jebakannya.

"Yakan, apa gue bilang. Lu emang lagi ada masalah sama laki lu. Ngaku aja, deh, Teh."

Aku melipat tangan di depan dada dan menutup mulut rapat-rapat, tak ingin membenarkan ataupun menyanggah. Soalnya Andra cukup pintar untuk menebak situasi yang sedang terjadi.

"Udah tau sih gue mah. Emang udah firasat juga dari kemarin, tumben Teteh nggak mau ikut sama Kak Akbar. Padahal biasanya gelendotan manja."

"Ya ngapain nanya kalau gitu!" Kedua bola mataku merotasi. Andra tak seharusnya mengetahui masalah rumah tanggaku, tapi ia sudah kepalang menebak dengn benar dan Aku enggan menyangkalnya.

Unexpected WeddingWhere stories live. Discover now