UW-8

2.9K 229 2
                                    


Happy Reading, Dear.
...

Tidak semua kisah akan berakhir indah.

***

Sekitar pukul setengah tujuh Aku keluar dari kamar dengan pakaian yang sudah rapi seperti biasanya. Hari ini Aku sudah memberanikan diri untuk bertemu dengan kedua sahabatku. Sebelum berangkat Aku melipir ke dapur, lebih tepatnya meja makan untuk sekadar sarapan.

Memasuki dapur, retinaku langsung menangkap Mbak Dini yang sudah sibuk berjibaku dengan wajan juga spatula. Di meja makan sendiri telah disediakan roti beserta selai kacang. Lantas Aku duduk di salah satu kursi dan mengambil roti yang perlahan Aku olesi dengan selai kacang. Dapur kami memang sengaja tidak dipisahkan dengan ruang makan mengingat anggota keluarga kami yang tidak banyak. Dulunya orang tuaku merupakan rakyat yang taat dan memegang teguh pada program KB. Dua anak lebih baik.

Pletak

Aku memegang keningku yang disentil oleh Bang Faris lalu aku berteriak, "Ba-hmppth."

"Sutt, ini masih pagi jangan buat tetangga nutup telinga gara-gara suaramu yang kelewat lantang itu," ujar Bang Faris dengan ekspresi tak berdosa yang ingin sekali ku cakar pakai garpu!

Aku meraup oksigen serakah ketika ia melepaskan bekapannya, dadaku naik turun. Pagi-pagi sudah dihadapkan pada kejadian yang membuatku emosi.

"Dasar nyebelin!" umpatku sembari memakan roti yang telah kuolesi dengan coklat.

Kekesalanku kian memuncak ketika ia malah cengengesan seperti anak kecil. Kadang-kadang Aku berpikir untuk tak mempunyai seorang kakak saja jika harus diperlakukan begini. Padahal ini baru hari kedua Aku pulang ke rumah setelah tiga tahun tinggal di kota orang. Harusnya dia memperlakukanku dengan baik, bukan dengan cara seperti ini.

"Tumben pagi-pagi udah rapi aja," seloroh Bang Faris menatapku dari bawah sampai atas. Kemudian ia duduk di sebelahku.

Mataku enggan meliriknya sama sekali, terserah mau dibilang julidan tapi sentilan Bang Faris tuh emang sesakit itu. Curiga dia pake tenaga dalam. "Setiap hari juga Aku kayak gini, kok. Bang Farisnya aja yang baru liat sekarang," kataku tanpa menyembunyikan rasa kesal.

Kepalanya mengangguk-angguk. "Wajar sih, kita kan udah lama pisah," ucapnya yang membuatku hampir tersedak.

Kutolehkan kepala ke arahnya, pria yang juga tengah mengolesi roti tersebut terlihat memasang wajah sendu. Berpisah selama tiga tahun membuat dia kehilangan moment pertumbuhan adiknya, Aku tahu itu. Bukan dia saja yang rindu, Aku pun merindukannya juga. Bahkan setelah kemarin menghabiskan waktu untuk bercerita panjang lebar, Aku masih merindukan dia.

Kupeluk tubuh tegap itu. "Yang penting Aku udah pulang, Bang," ucapku tersenyum lebar ke arahnya. Dan seperti inilah kami, bertikai untuk berpelukan di ujungnya.

Ia melerai pelukan itu. "Iya, pulang. Tapi bisa janji gak kalo kamu nggak bakalan ke Bandung lagi?"

Pertanyaannya itu terdengar seperti sindiran keras bagiku. Entah, Aku belum memikirkan sampai situ. Yang sedang Aku usahakan sekarang adalah mengembalikan hubungan persahabatanku. Kalau situasinya memungkinkan, mungkin Aku akan menetap di sini lagi.

Namun, Bandung nggak mudah buat ditinggalin begitu saja setelah dia berjasa besar bagi proses melupakanku. Aku seperti punya utang budi pada kota tersebut. Terlebih jiwaku sudah tertawan sepenuhnya oleh Kota itu.

"Mas, Hanum baru pulang loh. Tolonglah jangan nyinggung dia tentang masalah itu, yang paling penting kita nikmatin momen ini dulu. Waktu bersama keluarga itu sangatlah berharga!" sahut Mbak Dini sembari meletakkan piring berisi menu makanan sarapan.

Unexpected WeddingKde žijí příběhy. Začni objevovat