UW-28

3.5K 340 38
                                    

Harusnya kemarin malam Aku menuruti perkataan Mas Akbar untuk tidak menerobos hujan. Sayangnya saat itu Aku memilih membantah karena sedikit kesal pada Mas Akbar. Namun, melihatnya terbaring lemah di ranjang membuat rasa sesal dan rasa bersalah itu menyerangku.

Andai kemarin malam Aku menunggu hujan reda, Aku dan dia tidak akan datang ke rumah dengan basah kuyup dan kedinginan, serta Mas Akbar tidak akan demam seperti ini. Akan lebih baik jika demam itu menimpaku saja, toh Aku yang tidak turut kepadanya. Mas Akbar hanya korban, tetapi kenapa dia juga yang harus menanggung kesialannya.

"Mas mau mandi dulu atau makan dulu?" tanyaku usai meletakkan semangkok bubur yang masih hangat buatanku.

"Kalau saya nggak mau mandi gimana?" Dia malah balik bertanya.

"Ya nggak papa juga." Aku membalasnya singkat toh Aku tidak mempermasalahkan hal itu. Dalam keadaan lemah sepertinya, Aku juga pasti malas beraktifitas bahkan hanya untuk sekadar mandi.

"Yaudah, makan dulu berarti. Aku suapin ya?"

"Saya bisa sen-"

"Gapapa biar Aku suapin." Aku sengaja memaksa, hal ini kulakukan untuk menebus rasa bersalahku padanya.

"Tadi pas Aku cobain rasanya udah pas. Menurut Mas gimana? Ada yang kurang gak?"

Mas Akbar menggeleng pelan tanpa mengatakan satu patah kata pun.

"Bisa tambahin kerupuk gak, Num?"

"Oke, bentar." Segera Aku pergi ke dapur untuk membawa kerupuk yang untungnya sudah tersedia di dalam toples. Mbak Dini memang sering kali menggoreng kerupuk sebagai persediaan, walau kami jarang memakannya.

"Ini buburnya Aku tambahin sayur-sayuran juga, Mas gak keberatan kan? Soalnya kalau cuma bubur doang kayak gak ada nutrisinya. Ini juga di atasnya Aku tambahin abon karena kebetulan daging ayam di kulkas lagi abis."

Sejenak Mas Akbar tampak menahan tawa. "Kamu itu lagi buat bubur atau MPASI?"

"Ya masa nasi doang sama kerupuk. Kan niatnya biar nutrisi yang masuk ke tubuh Mas seimbang." Biarin saja dia mengejekku sesuka hati dan menyama-nyamakan bubur buatanku dengan MPASI walau faktanya memang begitu. Atleast, Aku sudah berusaha yang terbaik.

"Oh, Mas gak suka ya? Mau Aku go-food-in gak?"

Saat Aku sudah menyalakan layar ponsel, Mas Akbar tiba-tiba merebutnya lalu meletakkan ponselku kembali ke tempat semula.

"Saya suka, kok. Rasanya enak."

Senyumku langsung terbit begitu mendengar pujian tersebut. Segera Aku menyuapinya kembali.

"Abis ini mau minum obat, gak? Kalau mau Aku ada paracetamol. " Aku mengambil jeda lebih dulu, lantas meraba dahi kemudian lehernya dengan punggung tangan. "Panas, Mas, juga belum turun."

"Atau mau aku bawa ke dokter?" Abis Aku khawatir banget sama kondisi Mas Akbar, gak tega juga melihatnya sakit begini walau kondisi seperti ini cukup memberi keuntungan padaku karena dia nggak se-annoying saat sedang sehat walafiat.

"Gak, perlu. Saya cuma butuh kamu."

Lima detik lamanya Aku bergeming dalam sunyi. Apa yang barusan ia katakan padaku?

"Mas bilang apa?" tanyaku memastikan, tak ingin kegeeran. Soalnya kalau kegeeran Aku bisa tak tahu diri. Walau begitu hati kecilku berharap dia akan mengulang ucapannya lagi.

Sayangnya harapanku musnah saat Mas Akbar mengabaikan pertanyaanku hingga akhirnya kami terperangkap dalam senyap yang cukup membuat dadaku terasa tercekat. Baik Aku maupun Mas Akbar sama-sama menutup mulut rapat-rapat bahkan sampai semangkok bubur yang kubuatkan untuknya telah habis tak tersisa. Meski agak kecewa karena ia tidak bersuara untuk memberi penjelasan, tetapi Aku sedikit bahagia karena setidaknya bubur yang kubuatkan ia habiskan seluruhnya.

Unexpected WeddingWhere stories live. Discover now