UW-11

3.1K 306 6
                                    

Assalamualaikum, Pak.

Sebelumnya, maaf karena Aku udah menganggu Bapak. Aku cuma mau memberitahu bahwa Aku nggak bisa kenalan sama pria yang Bapak maksud. Sekali lagi Aku mohon maaf.

Aku merasa bersalah banget sama Pak Hadi, dia kecewa gak ya karena Aku membatalkan rencana pertemuan aku dan pria itu yang belum ditentukan. Mana Pak Hadi udah excited banget lagi. Kenapa juga Aku nggak menghubungi Pak Hadi waktu itu untuk mempercepat pertemuanku dengan lelaki yang beliau maksud agar Aku bisa meminta lelaki itu untuk menjadi tunangan pura-puraku.

Jika bisa, mungkin Aku nggak akan berakhir seperti ini. Tiba-tiba berangkat ke Bandung untuk melaksanakan pernikahan yang tak pernah Aku inginkan sebelumnya. Takdir sesulit itu ya buat ditebak?

Sesampainya di Bandung aku langsung diseret oleh Bi Nina menuju kamar untuk sedikit dirias. Bang Faris sendiri langsung diseret ke mesjid ketika dia baru keluar dari mobil.

Kalian Ingat pada kejadian di rumah sakit ketika menjenguk Abah Yaya? Begitu terkejutnya aku waktu itu karena tiba-tiba Bu Mela mengenalkanku sebagai calon istri putra bungsunya pada Abah Yaya. Seraya merutuki nasib aku pernah mengatakan dalam hati bahwa kejadianku waktu itu bisa dijadikan sebuah sinetron di stasiun tv dengan judul :

"Aku terjebak dalam kebohongan sebuah keluarga, dimana Aku berperan menjadi calon istri dari putra bungsunya" parahnya saat itu aku juga mengatakan dalam hati bahwa kisah itu akan berakhir ke pelaminan.

Berita terburuknya itu semua terjadi dalam kehidupan nyata. Tepatnya dalam kehidupanku. Judul absurd yang ku karang itu kini menjadi awal dari kisah pernikahanku. Bu Mela, wanita yang sudah aku anggap sebagai Ibuku itu sebentar lagi akan menjadi Ibu mertuaku.

"Kamu cantik."

Suara dari seseorang yang tengah aku pikirkan itu secara tidak langsung menyadarkanku dari lamunan panjang. Mbak Dini, Mbak Zahra, Bi Nina serta Bu Mela, semuanya berdiri mengelilingiku.

Mbak Dini melangkah mendekat ke arahku kemudian menaruh kedua tangannya di pundakku. "Kamu siap Dek?" tanyanya.

Aku menatapnya sekilas kemudian iris mataku kembali terfokus pada pantulan diriku di cermin. Tidak ada raut bahagia di wajah itu, binar di kedua matanya bahkan nampak meredup. Tetapi kedua sudut bibirnya tertarik secara terpaksa. She is lying to herself!

"Bismillah," lirihku seraya bangkit. Dengan balutan gaun putih yang menawan aku terlihat seperti mempelai pengantin sungguhan. Memang tidak ada persiapan untuk acara akad nikah tiba-tiba ini, hanya saja aku dipinjami gaun ini oleh Bu Mela yang kebetulan pas di tubuhku.

"Boleh saya bicara empat mata dengan Hanum? Dua menit," ujar Bu Mela.

Ketiga wanita itu mengangguk serentak lalu keluar dan meninggalkanku berdua dengan calon Ibu mertuaku.

"Neng," katanya pertama dengan nada sendu.

Aku melebarkan senyuman. "Ibu mau ngomong apa sama aku?" tanyaku dengan nada hangat berharap hal itu akan mencairkan suasana.

"Kamu boleh menolak pernikahan ini jika kamu keberatan Neng. Ibu gak mau kamu terbebani dan merasa terpaksa," ucapnya menunduk.

Aku cukup terkejut ketika mendengar perkataan Bu Mela. Kutebak pernikahan ini bukan atas kehendaknya. Mungkin atas kehendak Abah Yaya. Bukannya Abah Yaya sangat ingin melihat cucu bungsunya menikah? Aku yakin kemarin Bu Mela melamarku juga atas permintaan Abah Yaya yang waktu itu mengenalku sebagai calon cucunya.

Aku memang tidak menginginkan pernikahan ini, tetapi demi untuk Humaira dan Bu Mela aku siap menjalani ini semua.

"Mungkin semua ini terjadi mendadak dan nggak pernah kamu harapkan sebelumnya. Tapi Ibu cuma mau ngasih tahu kamu sesuatu. Ibu udah lama pengen memperkenalkan kalian berdua, dan sudah sejak lama juga Ibu pengen melamar kamu buat Akbar cuma Ibu nggak punya kesempatan."

Unexpected WeddingWhere stories live. Discover now