Ketika Aldebaran Jatuh

150 25 9
                                    

Katanya, malam ini triple konjungsi antara bulan, planet Mars dan bintang Aldebaran akan melakukan pertunjukan langit. Aku sengaja menunggunya hingga pukul sepuluh malam di atap rumah, tepatnya di tempat jemuran baju. Rasi Taurus yang menjadi induk dari Aldebaran memang sedang berkuasa di bulan ini.

Aku telah duduk bersila dengan mengarah ke barat daya. Langsung menandai bulan yang saat itu sedang menyabitkan senyuman nan imut. Tinggal mencari titik terang yang akan menjadi planet Mars yang biasanya bersemu kemerahan. Kemudian memantau di manakah letak si mata Sang Banteng Taurus itu. Nah, ketemu! Ada dua titik terang yang membentuk segitiga sama kaki dengan puncak titiknya tertandai sebagai Aldebaran yang memancarkan sinar paling terang.

Bintang Aldebaran terlihat berkerlip seakan menggodaku. Bilakah dia jatuh kemari? Apakah dia akan menjelma pria tampan sebagaimana namanya yang terdengar rupawan. Kalau yang datang Aldebaran yang di televisi, enggak mau. Dia sudah punya istri.

"Mana Pleiades?" bisikku berusaha menajamkan mata. Seharusnya kumpulan bintang itu tidak jauh dari Taurus. Samar mataku menangkap titik-titik kebiruan yang langsung kutebak sebagai Pleiades. Bintang Tujuh atau jika di Jawa terkenal dengan Lintang Kartika itu kali ini letaknya terjeda oleh keberadaan hilal. Tepat di bawah rembulan tempat para bidadari bersemayam.

Malam ini aku cukup beruntung dapat melihat langsung tujuh bidadari sedang terbang turun dari bulan menuju bumi untuk mandi. Setelah itu si tengil Jaka Tarub akan mencuri selendang salah satu bidadari, sehingga pada kesempatan lain bintang tujuh itu akan berkurang jumlahnya menjadi enam.

Saat melihat pada Taurus lagi, dan mendapati Orion berada di atasnya. Kenangan akan kisah tujuh putri Pleiades serta merta menggantikan dongeng tentang tujuh bidadari dan Jaka Tarub. Mitologi Yunani mengatakan bahwa tujuh putri itu sedang dalam pelarian dari Sang Pemburu Orion. Dewa Zeus lalu memerintahkan Taurus untuk melindungi tujuh putri Pleiades. Meski pada versi lain sebenarnya Taurus merupakan jelmaan Zeus untuk mengelabui para putri demi mendekati salah satu putri Pleiades yang bernama Europa.

Saat sedang asyik melukis langit dengan mitologi Yunani dan mitologi Jawa. Suara jedak-jeduk dari sisi kiri mengacaukan imajinasiku bersama bintang.

Tergiring rasa penasaran aku merayap ke arah sumber suara. Melupakan sejenak pertunjukan bintang yang nantinya akan ditutup dengan hujan meteor pada pukul dua dini hari. Katanya lagi, meteor yang akan lewat nanti sangat jarang terjadi.

Sendirian tentu, Erli teman kontrakan mana mau diajak melihat bintang. Lagi pula dia masuk shift sore sampai malam. Pulang kerja inginnya langsung tidur. Dan suara itu....

Hii, jangan-jangan... ada hant... ah, tidak mungkin. Tetapi kenapa suasananya menjadi seram. Angin dingin berhembus menegakkan bulu kuduk. Sunyi. Tak terdengar adanya tanda-tanda kehidupan. Hanya jantungku yang mendadak berdegup dengan kencang. Lalu... braaaz! Aku terlonjak.

Oke, tenang... atur napas dan berpikir positif. Mungkin itu tadi hanya kucing. Mungkin juga hanya maling. Fiuhh! Aku menghembuskan napas. Haa, maling? Kalau benar maling, gawat juga. Tak bisa dibiarkan. Tetapi di tempat yang banyak sampah ini apa yang mau dicuri.

Aku mengendap-endap, mengendus, dan terus merayap seperti tentara yang sedang perang, lalu mengintip sisi kanan rumah, lebih tepatnya melongok ke luar pagar dari seng yang telah berkarat. Pagar yang membatasi rumah dengan tempat pembuangan sampah hampir akhir. Alih-alih tempat pembuangan sampah akhir sebenarnya yang berada kurang lebih tujuh ratus meter dari rumah kontrakanku.

Dalam cahaya remang-remang terlihat siluet tiga orang tengah mengeroyok satu orang. Oh tidak! Ini tidak adil. Apalagi korban sudah tersungkur tidak berdaya memeluk gunungan sampah.

"Hei, kalian!" Spontan aku berdiri tegak berseru menghardik mereka dari atas atap. Padahal belum tentu mereka melihat keberadaanku. Kondisi bagian atap yang gelap tidak memungkinkan mereka bisa melihat kemari. Itu menjadi satu keuntungan tersendiri.

Dan entah apa yang merasukiku. Gerak selanjutnya aku sudah berlari turun seolah ingin menyaingi Flash demi menghampiri ketidakadilan yang harus segera ditumpas. Aku terus berlari di antara tumpukan barang rongsokan yang memenuhi halaman depan sebelum mencapai pintu gerbang dari jeruji besi setinggi dada.

Tak mau repot membuka pintu gembok, aku melompatinya dengan menggunakan pijakan besi yang di tengah. Tetapi aksi turunku sungguh tak indah. Kaosku yang longgar dan panjang secara tidak terduga tersangkut di pagar sehingga tubuhku terjungkal ketika kainnya berhasil robek. Alhasil mukaku terjun bebas berciuman dengan tanah berkerikil. Sembari meringis aku segera bangkit menuju ke tempat kejadian perkara yang masih lima langkah lagi plus membelok ke kanan yang akan kucukupkan dua langkah saja.

Oke, abaikan adegan jatuh nyungsruk tadi. Selanjutnya aku telah muncul bak seorang pahlawan pembela kebenaran seperti di film-film hero. Pas sekali ada lampu yang menyorot dari pojokan pagar sebagai penerangan jalan.

Namun, ada yang kurang dari penampilanku. Kurang atribut hero, kayak topeng, selempang belakang dan baju ketat berlogo. Mungkin sekuntum mawar merah yang terselip di bibir semakin menguatkan image sebagai seorang pahlawan__ksatria pembela kebenaran dan keadilan.

Mereka semua menatap ke arahku. Pakai bengong lagi. Mungkin mereka sangka aku orang gila. Mengacu pada kaosku di bagian samping yang melambai-lambai bekas robekan.

"Hei, menindas orang lemah dengan cara keroyokan bukan ciri seorang ksatria!" seruku mirip dialog para hero di televisi.

"Kamu mau apa? Mau mati?" tanya salah satu dari mereka yang mengenakan jaket jeans, suaranya terdengar dingin membuat tubuh merinding. "Pergi sana!" usirnya sama sekali tidak membuatku gentar. Pahlawan pembela kebenaran pantang mundur.

"Oh ya?" tantangku malah maju. Mengabaikan denyutan nyeri di sekitar mulut dan hidung.

"Kurang kerjaan, nih cewek!" gertak si Botak dengan mata yang nyaris melompat keluar. "Sana! Sana, hush!" usirnya seperti mengusir ayam. Sementara dua orang lain terdengar memaki si korban.

Aku bergeming. Mengusap bibir yang terasa anyir dengan punggung telapak tangan, kemudian pasang kuda-kuda.

"Seret dia dan bungkam mulutnya!" perintah seorang yang mengenakan topi inisial NY.

"Oke, kamu sendiri yang minta, jadi jangan salahkan aku." Pria dengan jaket jeans robek-robek yang terlihat keren menurutku, melangkah mendekat. Dia langsung menarik tanganku. Sigap aku melepaskan pegangannya sambil melontarkan sebuah chudan chuki_pukulan ke ulu hati.

Pria itu mengerang kesakitan. Memegangi batas antara perut dengan dada. Mulutnya terdengar mendengus tersengal.

"Hei, berani kau!" hardik temannya yang botak dengan marah.

Aku makin mengokohkan kuda-kuda bersiap menerima serangan berikutnya, si Botak gantian menyergap, tetapi refleks menghindarku cukup tepercaya. Yee... tidak kena! Bahkan aku berhasil melancarkan serangan maut berupa kinteki geri, tendangan ke arah kemaluan.

"Curang!" teriak pria itu belingsatan menahan sakit. Si Botak berjongkok meringis.

"Maaf, Paman!" ucapku.

"Paman? Sialan!" Si Botak memberi isyarat pada pria ketiga agar menyerang.

Seorang pria yang memakai topi inisial NY melangkah ke arahku. Dia langsung menyadari kalau aku tidak bisa dianggap enteng. Melihatnya juga memasang kuda-kuda, meski berbeda tumpuan kakinya. Kalau kuda-kudaku tumpuan berat badan mengacu di kaki belakang, sebagaimana filosofi kempo yang lebih memilih bertahan. Orang itu menitikkan berat badan di tengah, lalu kalau melihat dari tangan yang menggenggam aku bisa menduga basic bela dirinya karate atau taekwondo. Kalau dia seorang pesilat, tangannya pasti akan membuka saat pasang kuda-kuda. Terus terang aku sedikit keder. Apalagi pria bertopi itu memberi isyarat pada si Jaket Jeans agar ikut mengeroyokku.

Waduh, celaka tujuh kali lipat. Dalam situasi ini aku harus menggunakan jurus pamungkas. Seperti Naruto dengan Rasengan paling wahid Rikudo Choodama Rasenshuriken. Aku pun akan mengeluarkan satu jurus bernama 'Harimau Mengaum' untuk menggebrak mundur lawan. Jurus itu tidak ada di kempo, sih, aku yang terlalu kreatif memang suka menggabungkannya dengan ilmu bela diri yang pernah kupelajari sewaktu SD hingga SMP; silat.

Baiklah, tidak perlu berlama-lama. Aku pun segera merapal jurus maha sakti itu.





Vagabond TrashTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang