29. Minum susu

4.1K 168 18
                                    

Setelah sampai di rumah, Dinda dan Samudra bersiap untuk mengecek rumah baru yang akan mereka tempati setelah Dinda melahirkan. Mereka akan pindah, dengan menjual rumah Dinda yang ada di samping rumah Samudra.

Ya, sertifikat rumah memang ada pada Dinda. Dan mamanya tidak ada hak atas rumah itu, karena harta Gono gini sudah dibagi sejak ayah Dinda meninggal.

Awalnya Samudra menolak tawaran Dinda untuk menjual rumah itu, karena bagaimanapun juga di dalam rumah itu tersimpan sejuta kenangan masa kecil Dinda. Ia tidak ingin perempuannya kehilangan kenangan satu-satunya bersama sang almarhum ayah.

Namun apalah daya. Dinda tetaplah Dinda, perempuan keras kepala yang tidak bisa ia kekang. Jadi, mau tidak mau ia harus menyetujui keputusan istrinya itu untuk menjual rumah.

"Udah, belum?" Tanya Dinda pada Samudra yang sedari tadi sibuk dengan dasinya.

"Belum. Bentar, bentaaar lagi."

"Elah lemot banget. Sini!" Merebut dasi dari tangan Samudra, Dinda lantas membantu suaminya itu memakai dasi dengan benar.

Samudra terpaku melihat kecantikan Dinda dari dekat. Ia curiga kalau anak mereka akan lahir perempuan, karena semakin hari Dinda semakin cantik saja.

"Nah ... Ini baru bener, Bagus."

Membenarkan sedikit kancing baju Samudra yang agak terbuka, Dinda tidak menyadari tatapan yang diberikan oleh Samudra kepadanya.

"Kamu cantik banget, Din."

"Hm?" Gumam Dinda mengalihkan perhatiannya pada wajah Samudra.

Seketika itu juga Dinda gugup bukan main, Samudra menatapnya begitu lekat. Dan tatapan ini yang selalu membuatnya luluh dan terlena.

Perempuan itu meneguk Saliva. "B-bang? Ke-kenapa?" Tanyanya gugup.

Berbeda dengan Samudra yang masih tersenyum mengagumi kecantikan istrinya. Ia jadi menyesal, kenapa dulu dirinya sangat membenci dinda, bocah tengil yang selalu mengajak ia ke KUA.

"Woy!"

"Astaga, Dinda!" Samudra terkejut bukan main. Bagaiman tidak, dengan wajah tanpa dosa perempuan itu berteriak tepat di telinganya.

Sedangkan Dinda malah tertawa. "Salah sendiri bengong Mulu!" Ejeknya.

Samudra yang tak terima pun langsung saja mencuri kesempatan untuk mencium Dinda. Terkejut? Tentu saja. Namun Samudra puas karena sudah membalaskan dendamnya.

"Cepetan siap-siap, aku tunggu di depan. Sekalian mau ngajak Azizah," ucap pria itu, berjalan keluar kamar.

"Dasar, Duda! Eh? 'Kan udah bukan duda lagi," monolognya.

___

Mereka bertiga sudah sampai di kediaman baru mereka. Ya, kira-kira sudah selesai sembilan puluh delapan persen.

Membantu Dinda turun dari mobil, Samudra lantas merangkul posesif pinggang istrinya itu ketika memasuki halaman rumah yang dipenuhi oleh para kuli bangunan.

Biarlah mereka menyebut Samudra posesif atau apalah itu, yang jelas ia tidak mau istrinya sampai dilirik oleh para lelaki yang tengah bekerja ini.

"Woah, bagus banget!" Pekik Dinda girang.

Samudra hanya tersenyum, merasa bahagia disaat istrinya juga bahagia.

Azizah yang sedari tadi diam kini turut menyambut ke antusias an mamanya. "Nda! Ayo main!" Ajaknya meraih ujung lengan baju Dinda.

Mengerti dengan maksud Azizah, dinda pun meraih baby itu untuk digendongnya. Namun karena kandungannya tidak lagi kecil, maka ia agak kesusahan jika harus menggendong batita seperti Azizah.

KUTUB UTARA [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang