PART 1 : HARAPAN

1.4K 86 56
                                    

WARNING! : Dimohon untuk tidak melakukan copy atau plagiat untuk menjaga karya asli milik penulis.


SELAMAT MEMBACA!!

Ada yang bilang, jika harapan dan keinginan terbesar di masa kecil tak terwujud, harapan dan keinginan itu tidak akan hilang, tapi hanya bersembunyi jauh di dalam diri seseorang dan ia akan muncul kembali untuk menagih keinginannya.
Jika ditanya harapan terbesar apa yang diinginkan oleh sisi kecilku, jawabannya hanya satu, bebas.

*****

Sinar matahari masuk melalui celah-celah kain tipis yang menutup jendela kamarku. Dengan wajah kusam dan rambut berantakan, aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar. Seperti biasa, pemandangan yang terpampang di depan mataku hanya rumah yang kosong. Aku menatap lurus pada rak kayu yang dipenuhi oleh buku.

"Walaupun sudah lulus, rasa tidak nyaman ini masih terus ada, ya."
Aku menghela napas panjang.

Kuputuskan untuk mengerjakan aktifitas seperti biasanya, mencoba mengalihkan pikiran negatif yang terus terlintas di kepalaku sedari malam.
Alasannya? Bukan hal besar, kok. Tidak, ini hal besar.

Namaku Livia Zephyr, aku gadis berumur 18 tahun yang telah lulus sekolah dan berusaha untuk masuk universitas pilihan dengan sungguh-sungguh. Tapi sayangnya, seperti yang dilihat, aku masih di sini tanpa perubahan.

Alasannya? Ya.. Aku tidak mahir di bidang itu.
Di dunia yang serba maju ini, tidak memiliki keahlian adalah sebuah dosa, begitulah kata orang-orang.

Sejak kecil aku harus memenuhi ekspektasi orang-orang, bukan hal yang mudah, jika tidak berhasil aku akan dianggap gagal bahkan mendapat hukuman. Aku tinggal bertiga dengan ayah dan ibu, tapi lebih sering makan malam sendiri.

Aku berdiri menatap diriku di cermin kamar mandi, mengacak rambut hitamku yang memang sudah berantakan. Aku mengamati rambutku yang panjang, bahkan poninya hampir menutup mata biruku.

"Apa aku potong rambut saja ya?" Sesaat sebelum aku mengambil gunting di dekatku, teriakan yang tak asing terdengar dari lantai bawah.

"Livia!" Aku segera berlari turun ke arah sumber suara.

Ibu yang sudah menunggu di bawah tanpa berbicara apapun langsung melayangkan tamparan tepat di pipiku. Dengan raut wajahnya yang marah, ia melemparkan kertas hasil seleksi ujian ke arahku.

"Kenapa tidak bilang kalau kau gagal masuk universitas?!" Ibu berteriak dengan keras di hadapanku.

"Toh.. Sekarang ibu sudah tahu kan." Aku hanya menjawab dengan pelan, rasa perih masih menyelimuti bibirku.

"Berani menjawab?! Kalau tuan Erick tidak memberitahu, pasti ibu tidak akan tahu!"

Aku tersenyum sinis mendengar ucapan ibuku.
"Ibu masih saja percaya dengan dia? Bahkan anaknya sendiri tak dipercaya."

"Apa?!"

"Memangnya kalian tahu seberapa menderita aku karena kalian?! Kalian bahkan tidak pernah percaya denganku! Aku ini hanya seperti investasi!!"
Aku berteriak lalu pergi menuju kamarku dan membanting pintu. Aku tidak menghiraukan teriakan yang disusul gedoran pintu kamar dari ibu.

Setelah lelah berteriak, makin lama suara ibu menghilang.
Aku hanya menghela napas dan menyeka pipiku yang basah karena air mata. Bukan bermaksud menjadi anak pembangkang, tapi terkadang aku hanya lelah. Tanpa sadar aku tertidur di lantai karena lelah menangis.

*****

Aku terbangun karena suara bising dari lantai bawah. Ketika membuka mata ternyata hari sudah gelap. Aku turun dan mencoba mengecek sumber suara, tapi yang ku lihat hanyalah ibu dan ayah yang berbicara bersama guru les-ku, tuan Erick.
Aku tak berani keluar dan hanya mengintip dari balik pintu.
Menurut apa yang ku dengar, ibu meminta tuan Erick untuk menambah jadwal les di mata pelajaran yang membuatku gagal masuk universitas. Tubuhku terasa kaku, aku tak mau lagi kembali ke tempat itu.

My Battleground Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang