48.🍊

128 24 0
                                    

Apa lagi yang bisa Reza harapkan sekarang? Eksistensi Wanda yang paling ia harapkan, kini tak akan pernah ia rasakan lagi. Anak itu telah menyaksikan pemakaman sang Kakak tadi, adakah yang lebih menyakitkan daripada itu?

Ramainya hiruk-pikuk disekitar rumahnya, tak berhasil membuat kondisi anak itu membaik. Setelah pulang dari makam, yang Reza lakukan hanyalah merenung didekat jendela, menyaksikan langit oren seperti dulu-dulu.

Mimpi kala itu, ah apakah Reza harus menyebutnya sebagai mimpi? hal yang sangat jauh bahkan tak pernah Reza bayangkan kini terjadi begitu saja.  Jiwa dan raganya sangat jauh dari kata siap untuk menerima kejadian ini.

"Reza tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Reza tidak pernah berpikir sampai sejauh ini"

"Apakah Reza bisa menjalani hidup dengan normal nanti? Ah– kenapa ini terjadi secara tiba-tiba"

Matanya masih menyorot langit yang maha luas itu. Reza tidak berbohong jika ia mengatakan 'luasnya langit ini tidak apa-apanya dibandingkan dengan rasa sakit yang ia rasakan sekarang'

Baju putih yang ia gunakan untuk melayat pun masih terpasang rapi di badannya. Anak itu begitu malas untuk sekedar membersihkan diri dan mengganti pakaiannya.

"Reza selalu menunggu kehadirannya disini. Kalau Reza masih menunggu, apakah dia akan datang seperti kemarin-kemarin?"

Tiba-tiba anak itu menyatukan kedua tangannya lalu memejamkan mata. Ia berdiri tegak, dengan kepalanya yang menunduk.

"Reza mohon....Reza mohoonn..."

"Ayo pulang... ayo pulang... pulang" Reza sedikit mengintip ke arah gerbang, masih belum.

"Reza mohon... please..."

"Tuhan, silahkan ambil semua, apapun itu dari Reza tapi jangan kakak. Bahkan Reza tidak tahu, apakah Reza masih bisa menjalani hari esok tanpa adanya kakak disini"

"Ahh seluruh kewarasanku telah di renggut!" Anak itu memukul kepalanya, kesal.

*****

Beberapa hari kemudian......

"Gimana keadaan Luki?" Pertanyaan Sheo membuat Naka berhenti mengaduk kopinya.

"Lo temennya, harusnya lo lebih tau" sahutnya.

Pemuda itu kemudian menyesap kopinya, beberapa hari ini pikirannya sedang kacau. Rambutnya bertambah semakin gondrong, memikirkan keadaan yang semakin runyam.

"Gue angkat tangan soal toko Lo ya" ucap Sheo membuat Naka berhenti menyesap kopinya. Ekor matanya menatap Sheo, lalu ia menghembuskan napasnya kesal.

"Masih butuh perawatan intens. Pilihannya cuma dua, hidup tapi cacat atau mati. Karena ngga mau hidup cacat, makanya Wanda milih mati"

"Heh! Mulut lo kaya ngga pernah di sekolahin aja bego" tegur Sheo.

"Bener adanya, lo liat sekarang? Mata Niskala cacat sebelah, dan Luki, lumpuh"

"Apapun yang terjadi itu adalah kehendak Tuhan, kita sebagai manusia cuma bisa menerima dan menjalani. Kata-kata lo barusan seakan-akan nyalahin Tuhan.  Minta maaf ngga lo! Sebelum di adzab"

Naka merotasikan bola matanya jengah. Akibat stress yang berkepanjangan, sekarang tutur katanya tidak bisa di kondisikan. Sepertinya, belakangan ini ia bergabung dengan sekumpulan setan dan mengacaukan pola pikirnya yang tadinya baik-baik saja.

Mereka memilih untuk tidak melanjutkan pembicaraan. Sheo sibuk melihat hasil penjualan toko miliknya dan Naka, memang bajingan sekali si Naka, dengan gampangnya ia menyerahkan toko miliknya itu kepada Sheo sampai ia siap untuk kembali mengurusnya.

Sedangkan, Naka sendiri tidak tau kapankah dirinya akan merasa siap. Bahkan Naka samasekali tidak memikirkan tokonya, mau bangkrut pun, Naka sepertinya tidak akan perduli.

Yang menjadi perhatiannya saat ini hanyalah, Reza. Naka rela melepaskan segala yang ia miliki, hanya demi mengurus anak satu itu.

"Lusa wisuda Wanda sama temen-temennya" Suara Naka mengalihkan atensi Sheo.

"Bukannya mereka udah meninggal. Emhh– maksud gue– Wisuda?" Sheo nampak tak paham.

"Kampus akan tetep ngadain wisuda buat mereka. Itung-itung untuk mengapresiasi mereka kuliah selama ±4 tahun"

"Bukan itung-itung, tapi mereka memang udah sepantasnya di wisuda. Dipikir-pikir itu juga karena bentar lagi mereka bakalan wisuda, cuma keburu meninggal aja"

"Dan gue ngga berharap Wanda dateng beneran ke acara wisuda itu"

Plakk!

"Ashh– asu sakit tai!" Eluh Naka setelah pipi paripurnanya di tampar oleh Sheo.

"Mulut lo! Mending istighfar deh sekarang juga"

"Tch! Apaan sih!"

"Emang bener-bener setan pria kampret satu ini. Ck..ckk..ckk" Sheo menggelengkan kepalanya.

Hening.

"Eh setelah gue amat-amati penjualan toko lo lumayan juga, grafiknya stabil. Dari awal lo buka toko di tahun 2018, sampe sekarang 2022, penjualan menurun banget cuma di bulan Februari-Maret 2021, tapi setelahnya penjualan malah jadi naik 70%. Ini aja cuma yang di offline store-nya, coba gue cek yang online. Bentar–"

"Oke, Angzaai! Traffic-nya tinggi juga. Kalo di lihat-lihat ini sih sejajar sama brand lokal sebelah. Kita liat, langganan lo kebanyakan dari Indo, so pasti itu mah,  Thaland (Bangkok), Italia– Mi– whatt? Milan? Gilaa produk lo sampe Milan juga tuh!" Sheo sangat excited, ia kembali mengecek lebih dalam traffic website toko Naka.

"Ini sih lo harus daftarin produk lo biar bisa ikut Milan fashion week"

"Apasih cuma kaos biasa doang"

"Ini ngga bisa, Ka. Produk lo udah sampai ke luar negeri, harusnya lo udah ngga usah kerjasama sama konveksi baju lagi, tapi lo bikin parbik sendiri" Jeda–

"Dan yang gue liat produk lo bukan cuma kaos, tapi ada crewneck, Leather jacket, Aksesoris wtf– dan seharusnya sekarang lo bukan lagi jutawan tapi bilyoner!"

Naka tersenyum tipis, sangat tipis hingga Sheo sendiri tidak tau itu bisa disebut sebagai senyuman atau tidak. Menjadi bilyoner adalah impian Naka sejak dulu, ia mati-matian mencari modal kesana kemari hingga menjual mobil kesayangannya, lalu mencari konveksi baju yang mau di ajak kerja sama dengannya. Dan itu tidaklah mudah, dengan modal Naka yang tidak seberapa, membuat ia sering kali di tolak oleh beberapa konveksi baju. 

Dulu sebelum akhirnya Naka membuka toko, ia sempat menjual produknya di pasar tradisional dimana harga ditetapkan dengan sistem tawar-menawar. Untung yang didapatkan juga tidak banyak, hanya ratusan ribu saja.

Lalu melihat toko-nya yang sekarang, penjualannya stabil, untung yang di dapatkannya juga sangat cukup, membuat Naka harusnya tersenyum lebar.

"Buat lo aja" singkat Naka.

"Maksudnya?" Sheo tak paham.

"Ambil aja tokonya" ulangnya lalu beranjak dari sana.

"Ambil aja? Gila lo!" Seru Sheo.

"Woyy Naka! Kampret lo! gue belum selesai ngomong ya! woy"

Naka tak memperdulikannya sama sekali, ia tetap melangkahkan kakinya sampai keluar toko, menghampiri motornya, mengenakan helm, lalu pergi dari sana.

"Sialan bocah satu itu, kaya ngasih permen ke bocil aja, gampang banget"

"Emang muka gue keliatan banget ya kalo lagi butuh? Tch! Ada gila-gilanya!"

"Se-kacau apa sih pikiran lo? Sampe lo rela ngelepasin posisi bilyoner yang selama ini lo pengenin?"

"Tapi tenang, Ka. Selama ada gue, posisi bilyoner itu akan tetap lo dapetin, kalo perlu bukan cuma Milan, tapi Perancis bakal gue jajah sama brand lo. Tunggu aja."

"Sebelum itu, mari kita ngopi dulu. Kopi Sheo emang no counter!"


Mengheningkan Cipta || RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang