30.5 Dear Baskara

301 31 6
                                    


—Kamu pikir semudah apa kata 'memperbaiki'?

———

Hening kembali menyapa, menyiratkan suatu hasrat kosong tanpa jera, disudut itu Nayla bungkam, matanya perlahan terbuka, mengirimkan tatapan ombak gelap tanpa warna, semua kembali ketitik awal bahwa angkasaraya tidak selalu memihak pada dia.

Hari ini langit tak semendung bulan lalu, langit sedang bahagia katanya, langit tahu bahwa hari ini senyum disudut itu terukir istimewa, dengan baju toga, dan topi sarjana yang terpasang dengan sempurna.

"Selamat kalian lulus!" suara pak Zidan terdengar riang, senada dengan
wajah mereka yang awalnya menegang kini berubah dengan warna, hanya ada satu haru yang membucah disana, pelukan pelukan perpisahan merebak rekah penuh tangis.

"Kita lulus!"

Hari ini, kelulusan SMA Merdeka, disana ada Nayla tersenyum sembari memeluk Audy dengan erat, sedangkan Baskara atau yang lainnya melakukan hal yang sama sebagai tanda perpisahan.

"Gak nyangka kitu udah lulus aja"

Kalimat kalimat klise itu bersahutan, meleburkan pada sudut perpisahan dibawah angkasa, sorakan sorakan bahagia terdengar riuh, dengan warna temaram yang mengusik jiwa.

"Selamat ya Nay, lo akhirnya lulus" yang pertama kali Nayla dengar saat itu adalah suara Baskara, dengan senyum merekah yang terpampang disana, seolah laki laki itu menyimpan harap besar dimatanya.

"Selamat juga buat lo, Baskara" balas gadis itu, meskipun ada kesedihan yang tak bisa diceritakan disana, kesedihan ketika dirinya harus kehilangan seseorang yang paling berharga beberapa tahun lalu. Danuarta Arga.

"Nay nanti kalau udah hari wisuda kita jalan jalan ya, gue mau ajak lo ke tempat yang Indah banget"

Gema gema kosong itu terus masuk diotaknya, mengirim tatapan jahat, seluruh tubuhnya melemas ketika suara Danu terus merayap masuk kedalam otak, mata Nayla selanjutnya memejam bersamaan dengan satu helaan napas yang gusar.

"Lo keinget lagi Danu ya?"

Hanya ada hening, kemudian satu tarikan napas gusar dari Nayla, meskipun kepergian dia sudah lama tapi rasanya sakit itu masih terus membekas tanpai usai, walaupun perlahan ia mencoba lupa, tapi rasanya semesta tak pernah mengijinkan kata lupa itu untuk ada.

"Lo jangan sedih Nay, ini hari kelulusan kita loh, harusnya lo bahagia"

Untuk sesaat gadis itu tersenyum, walaupun ada kepahitan disana, Nayla ingin bahagia hari ini, sebelum senja tenggelam, sebelum Fajar terbit, atau mungkin sebelum awan hitam datang lalu menurunkan tangisnya kebumi.

Baskara menggengam kuat tangan gadis itu, tak ada lagi kata seolah mata sayu itu yang berbicara, lalu perlahan tangan laki laki itu beranjak menyentuh permukaan wajah Nayla "Lo cantik, Nay"

Hening.

"Gue mau kita kaya dulu lagi, gue pengen perbaikin semuanya, Nay"

Nayla menatap laki laki itu ragu, memang kata 'memperbaiki' tak semudah apa yang diucapkan, Nayla takut kata 'memperbaiki itu malah akan membuat dia semakin terluka, oleh Baskara yang masih menyimpan sejuta keraguan yang terlihat dari sorot matanya.

"Lo mau kan? Kita jalanin ini pelan-pelan" suara Baskara terdengar begitu menenangkan, meskipun Nayla bisa melihat sorot mata laki laki itu tulus dengan kontras warna tanpa kekecewaan.

"Kasih gue waktu, gue gak mau kecewa buat kedua kalinya" gadis itu menatap Baskara dengan sorot yang sulit diartikan, meskipun semesta tahu isi hatinya masih menyimpan sisa rasa besar untuk laki laki itu.

"Gue paham kok, sampai waktunya lo siap, gue bakal nunggu" laki laki itu tersenyum, berharap Nayla mengerti bahwa dia begitu mencintai gadis itu sekarang, Baskara akan menjadi pelanginya yang selalu memancarkan warna keindahan untuk Nayla, meskipun Baskara tahu bahwa yang Nayla inginkan bukan pelangi tapi sebuah senja.

Layaknya senja dan Fajar di ufuk timur, saling bergantian atau mungkin tidak akan pernah menyatu dalam waktu bersamaan, seperti semua hal yang sudah digariskan oleh hukum Tuhan dialam semesta.

"Gue sesayang ini sama lo, gue gak mau kehilangan seseorang lagi Nay, gue pengen jagain lo, gue pengen lindungin lo, gue gak mau lo kenapa napa"

Intonasi laki laki itu terdengar lirih, sekarang semestanya Baskara adalah Nayla, semestanya yang akan terus dia lindungi dan menjadi tempat ketika pulang.

"Gue gak mau kehilangan seseorang lagi"

ketika sorot matanya yang tulus terlihat begitu sempurna, seolah menyimpan harap besar kepada semesta, hatinya yang remuk perlahan pulih; dibantu waktu dan siklus hidup yang selalu retak, meskipun dalam kata kata itu Nayla menyimpan sedikit ragu untuk Baskara.

Sedikit.

Dear Baskara.

Teruntuk manusia kuat yang masih bernapas dibumi.
Aku tahu sorot mata itu tulus, layaknya langit yang tak ingin berubah menjadi mendung.
Layaknya sebuah kaca utuh yang tak ingin menjadi retak, mustahil untuk diperbaiki.

Kupikir dia adalah tempat luka,
Ternyata dia adalah tempat pulang.
Hai, Ada sebuah semesta tanpa luka, tanahnya yang basah menenangkan hati yang gundah.
Ada sebuah Angkasa tanpa warna, ketika langit mendung dan jeritan jeritan hampa yang lara.

Kupikir akan pulih ternyata tidak sama sekali.
Hanya ada sebuah kata 'memperbaiki' tapi mustahil.
Hanya ada sebuah kata 'luka' tapi sebenernya lara.
Kamu, layaknya sebuah senja yang tak pernah aku harapkan, meskipun memberi keindahan lalu hadirnya hanya sesaat.

Hari ini sebelum langit menghitam, sebelum senja tenggelam, dan sebelum Fajar terbit diufuk timur, biar aku ceritakan sebuah kisah luka yang harusnya tak pernah berjumpa.

—Nayla Pradinda—
©DearBaskara.

Dear Baskara [End]Where stories live. Discover now