24. Di Depan Lukisan Affandi

50 10 2
                                    

⠀⠀"Selamat pagi dan selamat datang di The Blanco Renaissance Museum," seorang perempuan berkebaya dan kamen khas Bali menyapa saat Lara dan rombongannya sampai di halaman depan museum.

⠀⠀Dari tadi, Lara tak henti memperhatikan detail-detail bangunannya, yang terlihat seperti percampuran arsitektur Bali dengan sedikit 'rasa' Spanyol, seperti latar belakang Antonio Blanco—pelukis yang mendirikan museum ini—yang lahir dari orang tua Spanyol kemudian jatuh cinta pada Bali dan menghabiskan sisa hidupnya disini. Terdapat tangga lebar menuju bangunan utama, diapit sepasang patung Naga. Kemudian, kita akan melewati semacam gapura besar yang berbentuk hasil décalcomanie dari tanda tangan Antonio Blanco.

⠀⠀Di dalam, karya dari pelukis tersebut dipajang dengan urutan kronologi, sehingga kita bisa melihat perkembangan lukisan Blanco dari masa ke masa. Lara sendiri sangat suka pemilihan warna dan goresan kuasnya. Lukisan-lukisan Blanco terasa romantis, ekspresif, sekaligus dreamy. Seolah kita berada dalam dunia mimpi.

⠀⠀Dengan dipandu guide, rombongan mengitari bangunan utama museum dari bawah ke atas. Mereka juga melihat studio tempat Antonio Blanco melukis semasa hidup, lalu juga melihat karya-karya anaknya, Mario Blanco. Di lantai paling atas, terdapat semacam rooftop yang dihiasi patung-patung penari Bali. Dari sini, Lara bisa melihat pemandangan Ubud dari ketinggian, dengan sungai Campuhan di satu sisinya. Indah, damai, dan tenang. Pantas saja banyak pelukis-pelukis dunia yang pergi ke Ubud khusus untuk berkarya, bahkan kemudian menetap disini.

⠀⠀Ketika rombongan Lara kembali ke halaman depan, rombongan BALIKJ yang lebih dulu selesai sudah duduk di atas rumput, mulai membuat sketsa. Raina melambaikan tangan dari tempatnya duduk bersama anak Barbar yang lain, dan Lara menghampiri.

⠀⠀Ia melepas tas lukis yang dari tadi terselempang di bahu, mulai membuka dan mengaturnya menjadi easel

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⠀⠀Ia melepas tas lukis yang dari tadi terselempang di bahu, mulai membuka dan mengaturnya menjadi easel.

⠀⠀"Eh buset, buset." Figar memegangi dada dengan syok. "Gue tuh ya, masih suka kagetan kalo liat Lara. Koper Gucci dibanting-banting, tas LV ditaro di tanah loh."

⠀⠀Lara hanya mendengus. Dia tahu ini mahal, tapi bukankah memang fungsi utamanya adalah untuk dipakai? Kalau sudah beli mahal-mahal lalu tidak digunakan hanya karena takut kotor atau rusak sedikit, lalu buat apa dibeli? Kecuali kalau belinya memang hanya untuk investasi, Lara masih maklum. Tapi kan Papa membeli ini untuk Lara melukis.

⠀⠀"Kamu pake akrilik, Ra?" tanya Pau saat Lara memasang canvas board berukuran 20x30nya.

⠀⠀"Iya, sejujurnya gue lebih biasa pake akrilik," jawab Lara. Ia memandangi bangunan museum yang menjulang, lalu mulai bekerja. Mungkin ia sedikit terinspirasi lukisan Antonio Blanco tadi, karena goresan kuasnya menjadi lebih ekspresif dan penggunaan warnanya pun dreamy. Cenderung berwarna pastel dan pink.

⠀⠀"Kenapa kamu gak masuk Murni aja, Ra?"

⠀⠀Lara menoleh, kaget. Tak jauh di belakangnya, Mas Itang duduk bersama Mas Guntur, keduanya memperhatikan lukisan Lara lekat-lekat.

XOXO, Lara ParkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang