2. Salam Debur Ombak

108 25 2
                                    

⠀⠀"Halo, nama kamu siapa?"

⠀⠀Lara tersentak, kaget oleh sapaan dari orang yang duduk di sebelahnya itu. Ia menoleh, pada gadis berkerudung biru tua yang tersenyum manis. Refleks, Lara balas tersenyum.

⠀⠀"Halo, gue Lara," jawabnya, menyalami tangan gadis itu. Delapan belas tahun hidup di Jakarta dalam lingkungan keluarga Betawi-Korea, dia terlalu terbiasa bergue-elu dengan teman sebaya daripada aku-kamu. "Lu?"

⠀⠀"Aku Raina." Senyuman Raina semakin lebar. "Seneng kenalan sama kamu."

⠀⠀"Ng… gue juga." Lara nyengir kuda, bingung harus bicara apa lagi.

⠀⠀Untungnya, Raina sudah bertanya lagi, mungkin menyadari sikap Lara yang sedikit kaku, "kamu ambil prodi apa?"

⠀⠀"Mode. Lu?"

⠀⠀"Aku Interior."

⠀⠀"Oh…" Yhaa, mati kutu lagi. Diam-diam, Lara merutuki dirinya sendiri. Padahal, dia ini lumayan bawel, tapi jago kandang. Di tempat baru seperti ini, kebawelannya menguap begitu saja.

⠀⠀Namun, Raina ternyata cukup pintar juga mengajak Lara bicara. Ia bertanya ini-itu, hingga akhirnya Lara mulai rileks dan mereka mulai benar-benar mengobrol. Ternyata, Raina salah satu lulusan SMA unggulan di Jakarta. Beda dengan Lara yang SMK.

⠀⠀"Kalo boleh tau, kamu SMKnya fashion juga?" tanya Raina tertarik.

⠀⠀"Iya, SMK jurusan busana," angguk Lara. "Kebetulan gue suka jait-jait dari kecil, jadi sekalian masuk SMK biar tambah jago lagi."

⠀⠀Raina tertawa kecil, begitu juga Lara. Mereka terus mengobrol, walau sedikit terputus-putus karena sebenarnya mereka sedang duduk di dalam Galeri Seni Rupa yang luas, mendengarkan penjelasan dari dosen maupun kakak-kakak BEM tentang kampus dan kehidupan perkuliahan.

⠀⠀Dulu, duluuuu sekali, ospek IKJ selalu dianggap momok yang menakutkan. Namanya Mata Seni, atau disingkat Matsen. Para maba polos dikerjai habis-habisan oleh senior yang otaknya nyeni banget, alias selalu punya ide hukuman yang terlalu kreatif—tapi sungguh menyiksa. Untungnya, ospek itu sudah dihapus dan diganti dengan kegiatan PKKMB yang lebih 'jinak'. Mahasiswa baru hanya perlu duduk manis dan mendengarkan presentasi yang diberikan.

⠀⠀Tanpa disadari, Lara menguap. Padahal mereka sedang mendapat tugas menghafal hymne IKJ. Setelah tadi sudah bisa menyanyikan mars IKJ yang bersemangat, menyanyikan hymne membuat Lara mengantuk. Dia memang tidak punya bakat musik seperti Papa ataupun Abang. Suaranya pas-pasan, Lara sih sadar diri saja.

⠀⠀"Debur ombak… pecahkan karang… langit bara… di cakrawala…" gadis itu menyanyi tanpa semangat.

⠀⠀Untunglah, selesai menyanyikan hymne, waktu istirahat siang tiba. Raina berdiri dari kursinya, tampak sudah sangat lelah duduk seharian. "Ra, mau coba ke kantin gak?"

⠀⠀"Eh… boleh." Lara mengangguk, ikut berdiri sambil mengantongi ponsel dan dompet. Bersama Raina, ia berjalan keluar galeri, menuruni tangga dengan matahari yang bersinar terik di atas kepala. Celingukan kesana-kemari, bertanya pada Pak Jonas yang kebetulan sedang duduk-duduk di kolong gedung A, hingga akhirnya mereka menemukan kantin Seni Rupa.

⠀⠀Kantin itu tidak terlalu luas. Jangan bayangkan seperti kantin di kampus lain yang penjual makanannya berjejeran. Hanya ada satu koperasi kecil yang menjual alat gambar dan camilan, serta tiga stand makanan. Warteg, mie rebus, dan jus buah. Hanya itu.

⠀⠀Menurut Pak Jonas, ada pilihan makanan lain di kantin FFTV—singkatan dari Fakultas Film dan Televisi—tapi karena jaraknya agak jauh, Lara malas kesana. Dia memutuskan untuk beli Pop Mie saja, dan sebotol air putih.

XOXO, Lara ParkWhere stories live. Discover now