7. Maba-Maba Menderita

77 17 0
                                    

⠀⠀"Hari ini kita gamdas di Taman Menteng, ya," Mas Riza mengumumkan, "lima lembar sketsa, gak boleh kurang. Saya tunggu di Lantai Dasar sampe jam dua."

⠀⠀"Jam tiga deh, Mas," Rio berusaha menawar.

⠀⠀"Gak ada. Jam dua."

⠀⠀Lara mengecek jam. Masih jam sembilan. Ada waktu lima jam sebelum jam dua, tapi percayalah, itu tidak ada artinya kalau sedang mata kuliah Gambar Dasar. Terbukti saat minggu lalu mereka gamdas di Taman Situ Lembang dan Lara harus panik karena waktu tinggal setengah jam dan dia bahkan belum menyelesaikan gambar keempat. Walhasil, dengan putus asa dia menggambar pot bunga untuk gambar kelima, lalu melompat naik ke boncengan Rio yang ngebut untuk sampai ke kampus. Memang tepat waktu, tapi Mas Riza mendengus saat melihat gambar pot bunga Lara yang sungguh tidak berfaedah.

⠀⠀Dan benar apa kata Naren waktu di Prapatan, drawing pen Lara nyemplung ke kolam saking buru-burunya.

⠀⠀"Ra, ke kantin dulu yuk. Aku gak bawa bekel nih. Pengen beli nasi bakar jadi di sana fokus gambar, gak nyari makanan lagi," ajak Raina.

⠀⠀"Ayo, ayo." Lara mengangguk. Dia sendiri sudah membawa bekal—sosis dan ayam asam-manis buatan Papa, serta satu liter air minum. Belajar dari pengalaman gamdas kemarin, Lara juga membawa topi—ngembat punya Bang Sena—dan sunscreen ber-SPF tinggi. Tidak lupa pakaian 'tempur'. Jaket lengan panjang, celana panjang tebal, dan sneakers paling nyaman yang dia punya. Saat di lokasi gamdas, jangan harap bisa duduk manis di tempat adem. Alih-alih, dia harus ngemper, duduk dimanapun dan dalam keadaan apapun asal angle pemandangan yang akan digambar sesuai dengan keinginan. Mau itu duduk di trotoar atau tanah sekalipun, dia tidak punya waktu untuk mengeluh.

⠀⠀Raina menggandeng Lara ke kantin, berceloteh tentang tugas Nirmana. Lara mendengarkan sambil sesekali menyahut.

⠀⠀Tepat saat memasuki kantin, seseorang yang duduk di meja paling pinggir menarik perhatian Lara. Orang itu tersenyum kepadanya, melambai.

⠀⠀"Hai, Lara."

⠀⠀Lara melangkah, mendekati orang itu dan mengecek alisnya dengan gestur yang jelas. "Hai, Kak Dewa."

⠀⠀Sadewa tertawa, lesung pipitnya muncul lagi. Bisa-bisa Lara diabetes kalau terlalu lama memandangi lesung pipit itu.

⠀⠀"Mau gamdas ya, Ra?" tanya Dewa, mengedik pada papan tripleks berukuran A2 yang terselip di antara punggung dan ransel Lara.

⠀⠀"Iya, Kak."

⠀⠀"Gamdas dimana? Akhir-akhir ini kan cuaca lagi panas banget."

⠀⠀Ridho, yang duduk di seberang Dewa, saling sikut dengan Nakula. Jelas-jelas menahan muntah karena kata-kata sok manis temannya itu.

⠀⠀"Deket sih, Taman Menteng. Tapi aku udah siapin topi kok." Lara menunjukkan topi LA Lakers hitam-ungu di tangannya.

⠀⠀"Emang beda ya, kalo cewek cakep." Ridho menyeringai. "Mau gamdas aja udah kayak idol lagi comeback."

⠀⠀"Kak Ridho bisa aja."

⠀⠀"Eeeh dia inget nama gue!" seru Ridho lagi, yang membuatnya balas disikut Nakula.

⠀⠀"Dho, berlebihan lu ah!"

⠀⠀Tentu saja, kelakuan mereka membuat Lara tertawa kecil. Kakak-kakak senior ini lucu, ternyata. "Inget lah, kan Kak Ridho yang banyak ngomong di depan waktu PKKMB kemaren."

⠀⠀"Maklum, dia emang bawel." Sadewa ikut tertawa.

⠀⠀"Eh, kalo sama gue belom kenalan ya?" Nakula cepat-cepat berdiri, mengulurkan tangan. "Gue Nakula. Kembarannya si Dewa Brengsek. Bedanya alis gue lebih keren, ala-ala bad boy."

XOXO, Lara ParkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang