16. Pertanyaan Yang Tidak Enak Didengar

67 16 1
                                    

⠀⠀Jam dua kurang, Lara dan geng abang-abangan sudah kembali ke Galeri Nasional. Halamannya mulai ramai dengan pengunjung yang hendak menghadiri pembukaan Lentera, termasuk media-media yang meliput. Anak-anak Barbar menunggu di depan gedung. Kali ini, gedungnya berbeda dari yang tadi mereka masuki. Bani sibuk memberi instruksi seperti biasa, menjelaskan jam berapa mereka berkumpul lagi untuk kembali ke kampus.

⠀⠀"Jangan lupa tugasnya!" seru Bani, "field report sama interpretasi dua karya! Dan foto kalian di dalem pameran!"

⠀⠀Mereka menunggu lagi selama beberapa saat, hingga akhirnya pintu dibuka. Lara menggandeng lengan Naren, berjalan di belakang anak-anak Barbar yang bersemangat. Baru mau masuk saja, mereka sudah menemukan seniman-seniman terkenal yang tadi mereka lihat karyanya, berdatangan. Ada beberapa artis dan fashion designer juga. Kemungkinan besar kenalan dan teman dari para dosen yang sedang pameran.

⠀⠀Seperti kata Naren tadi, menjadi bagian IKJ berarti langsung mencebur ke dunia seni Indonesia, terutama Jakarta. Orang-orangnya kebanyakan itu lagi, itu lagi.

⠀⠀Ruangan pertama yang mereka masuki dipenuhi karya instalasi dan beberapa lukisan. Berbekal booklet yang dibagikan di depan pintu, Lara mencoba menemukan arti karya demi karya yang ada.

⠀⠀Satu lukisan anak bayi menarik perhatian Lara. Ketika mengecek informasinya, mata Lara melebar. "Mas Riza baru punya anak???"

⠀⠀"Kemane aje, Neng." Tawa Naren.

⠀⠀Melihat karya-karya dari orang-orang yang kita kenal secara langsung ternyata memang jauh lebih menarik. Banyak yang baru Lara tahu dari dosen-dosennya, seperti pandangan mereka atau apa yang baru dialami, seperti Mas Riza yang baru punya anak dan melukis bayinya.

⠀⠀Di salah satu pojokan, ada satu potongan bak truk yang menempel ke dinding, tapi seluruh sisinya dipenuhi lukisan. Lukisan-lukisan khas gambar di belakang bak truk, lengkap dengan slogan-slogan lucu.

⠀⠀"Punya Mas Itang." Naren menunjuk kotak kecil berisi informasi karya. "Keren ya. Gimana coba bak truk dibelah gini?"

⠀⠀"Iya, keren banget," angguk Lara.

⠀⠀Mereka berputar lagi. Selain menemukan karyanya, kadang ada juga para seniman-senimannya, berdiri menjelaskan karya mereka kepada media atau teman dan pengunjung yang datang. Naren memberi selamat pada Mas Dito, lalu Mas Itang yang ngumpet dipojokan.

⠀⠀Dari sana, mereka mengikuti alur pameran, melewati ruangan DKV yang dipenuhi karya dengan media interaktif. Dilanjut ke Interior, lalu setelah itu, sampai di ruangan Mode.

⠀⠀Baru masuk saja, Roro Jonggrang sudah terlihat, berada tepat di tengah ruangan dan lebih tinggi daripada yang lain. Kalau saat dikerjakan saja Jonggrang sudah keren, sekarang dengan pencahayaan yang sempurna, dia terlihat hidup. Seolah benar-benar memancarkan cahaya. Beberapa manekin lain mengelilingi di bawahnya, seperti sedang menari mengitari sang putri yang telah bebas. Gaun-gaun, kain, dan selendang mereka berkelip bagai bintang yang ditabur berserakan.

⠀⠀"Keren banget!!!" Lara berseru, refleks. Tepat saat itu, ia menemukan Mama dan Papa yang berdiri agak di pinggir, sedang bicara dengan seorang fashion designer muda. Kontan, Lara langsung berlari ke arah ibunya. "Mamaaaa!!!"

⠀⠀"Hai, Beb!" Mama tertawa, memeluk Lara.

⠀⠀"Chukhahamnidaaa uri Mama! Muah! Muah!" Lara mengecupi pipi sang Mama, membuat ibunya semakin tertawa geli.

⠀⠀"Makasih yaa Bebebnya Mama, makasih juga udah bantu-bantuin," ujar Mama, mengelus kepala Lara lembut, "kamu sama anak-anak Barbar?"

⠀⠀"Iya, sama Naren juga," jawab Lara, melambai ke arah Naren yang mendekat dan ikut memeluk Mama.

XOXO, Lara ParkWhere stories live. Discover now