19. Drama Keluarga

50 14 14
                                    

⠀⠀Sadewa membawa mobilnya ke daerah Tebet Timur. Lara menghitung, dari tadi mereka sudah melewati hampir selusin coffee shop dan tempat-tempat nongkrong yang ramai.

⠀⠀"Rumah Kak Dewa di daerah sini?"

⠀⠀"Iya, udah deket kok." Sadewa tersenyum—senyum mematikan itu. "Emang gak sekeren alamat kamu, sih."

⠀⠀Kening Lara berkerut. "Emang alamatku kenapa?"

⠀⠀"Ya ampun, Ra. Kamu cukup nyebut 'Rumah Duta' aja aku langsung minder."

⠀⠀Kenapa juga harus minder? "Yang penting kan punya rumah. Lagian, tadi aku mau bilang… Kalo rumah kakak daerah sini, enak juga ya. Banyak tongkrongan."

⠀⠀"Oh, itu sih iya. Tiap hari bisa ganti-ganti tempat ngopi. Nah, itu depan sana rumahku."

⠀⠀Rumah itu cukup besar. Dicat putih dengan kombinasi kayu-kayu ukir Jepara. Modelnya seperti rumah lama yang diperbaharui. Di bagian depan rumah, ada beberapa mobil yang terparkir.

⠀⠀"Tante-tanteku udah pada dateng. Parkir dimana ya…" Dewa celingukan, sebelum memarkir mobil di seberang, tepat di depan bangunan yang sedang dikonstruksi.

⠀⠀Tak lama kemudian, mereka turun dari mobil. Diam-diam, Lara memperhatikan penampilannya dari pantulan kaca. Masih sempurna. Oke, dia siap menghadapi ini.

⠀⠀Dewa mengajak Lara masuk ke dalam gerbang. Ada sebuah Camry hitam mengilat di carport, dan sebuah motor abu-abu yang Lara kenali sebagai motor Nakula. Kemudian, mereka menyeberangi taman kecil yang tertata apik, langsung ke depan sebuah pintu ganda dari kayu jati dengan frame berukir rumit. Baru juga tangan Dewa terulur untuk meraih handle, salah satu pintunya sudah mengayun terbuka, menampakkan Nakula yang tampak terkejut, tapi mengatur ekspresinya sedetik kemudian.

⠀⠀"Lu beneran bawa Lara ke sangkar emas? Alig," kekeh Nakula, sebelum menyodorkan kepalan tangan pada Lara, "hai, Ra. Yuk masuk. Tapi jangan kaget ya kalo gak asik."

⠀⠀Lara membalas fist bump Nakula, penasaran dengan kata-kata laki-laki itu. "Hai, Kak. Kenapa gak asik?"

⠀⠀"Gak asik pokoknya." Nakula menyingkir dari depan pintu, memberi jalan untuk Lara dan Sadewa masuk.

⠀⠀"Lu mau kemana tadi?" tanya Dewa pada kembarannya.

⠀⠀"Nyebat. Tapi gak jadi, ada Lara."

⠀⠀Sementara itu, mata Lara sudah memindai bagian dalam rumah. Mereka berada di foyer, yang mengingatkan Lara pada foyer di rumah Keluarga Oh. Bedanya, foyer disini kental dengan tema tradisional, terutama wayang. Sebuah gunungan diletakkan di tengah, dan wayang kulit berjejer-jejer di sisi kiri dan kanannya.

⠀⠀"Bokap suka banget wayang, sampe nama anak-anaknya juga nama wayang semua," Sadewa menjelaskan.

⠀⠀"Sama kayak Mamaku," angguk Lara.

⠀⠀"Bisa pas gitu, ya," canda Dewa, "sini yuk, Ra. Udah pada ngumpul di meja makan, kayaknya."

⠀⠀Lara mengikuti Nakula dan Sadewa ke balik foyer, melewati ruang tamu yang cukup besar, ruang tengah, dan akhirnya ke ruang makan. Butuh usaha keras bagi Lara untuk tidak panik, karena ruang makan itu benar-benar sudah penuh orang, duduk di sekeliling meja besar yang mungkin bisa menampung dua belas orang atau lebih. Dan semua orang yang ada di sana, menoleh kepada Lara.

⠀⠀Nervous. Itulah yang Lara rasakan saat ini. Tadi, dia berkenalan dengan semua orang. Bapak-Ibunya Nakula dan Sadewa—Om Yudha dan Tante Amba, juga dua kakak mereka: Arjuna dan Anjani, lengkap dengan pasangan masing-masing. Juga para tante yang disebut-sebut Dewa saat parkir mobil tadi, dan para om, dan sepupu-sepupu. Lara tidak bisa mengingat semua namanya.

XOXO, Lara ParkWhere stories live. Discover now