13. Fight Fire With Fire

67 19 3
                                    

⠀⠀"Mana tuh si Princess? Katanya di toilet."

⠀⠀Seluruh tubuh Lara langsung kaku. Si Princess? Dia, maksudnya? Cepat-cepat ia memutus sambungan telepon dengan Naren.

⠀⠀Di saat seperti ini, Lara teringat pada prinsip super ngegas Mama. Curiga dulu, ngomong baik-baik kemudian.

⠀⠀Mengaktifkan fitur recorder, Lara mengantongi ponselnya di saku jaket. Semoga saja kedengaran. Lagipula, suara perempuan di luar bilik lumayan keras. Mungkin sengaja, agar Lara mendengar.

⠀⠀"Lo liat gak tadi? Sok kecakepan banget najis! Gue kira cantiknya yang kek bidadari gitu, taunya biasa aja!"

⠀⠀"Sombong banget, lagi. Lo tau gak dia bilang ke Benji, jaketnya beli di Seoul? Yaelah, di Tenabang juga ada lima puluh ribuan, pake sok-sokan ngomong beli di Seoul."

⠀⠀Lara menelan ludah, sedikit syok. Halo? Ini abad ke-21 lho? Cuma beberapa puluh tahun sebelum Doraemon lahir? Dan di zaman secanggih ini, masih ada tukang bully modelan begini???

⠀⠀"Papaku orang Korea," satu suara menirukan kata-kata Lara dengan mengejek, "mana muka dia nyebelin. Kek orang lain cuma manusia rendahan."

⠀⠀Hah? Kapan Lara berpikir seperti itu? Itu kan bawaan muka dia yang memang punya resting bitch face. Makanya Lara selalu memaksakan diri tersenyum, karena kalau tidak, dia selalu kelihatan tidak ramah. Tapi bukan salahnya dong jika kadang-kadang muka juteknya terlihat? Kan tidak mungkin juga dia tersenyum 24 jam tanpa henti!

⠀⠀"Heran gue, kok yang kayak gitu bisa dipanggil Princess. Princess dari Hong Kong? Modal berduit doang udah minta dipanggil Princess. Najis."

⠀⠀Kalau kepala Lara adalah ketel, pasti dia sudah mengepulkan uap, menggelegak keras. Lara tidak pernah minta dipanggil Princess. Hanya anak-anak Barbar yang memanggilnya seperti itu, itu pun dia biarkan karena tahu anak-anak Barbar hanya bercanda. Sama seperti Hasan dipanggil Letto atau Figar dibilang Sampah. Kalau ada orang lain yang tidak tahu apa-apa mendengar panggilan itu dan berpikir yang aneh-aneh, itu bukan salah Barbar. Salah orang itu karena sok tahu mengurusi urusan orang lain.

⠀⠀"Masih mending. Yang gue bingung, kok bisa sih Naren mau sama dia?!" seru salah satu suara, penuh penekanan.

⠀⠀Nah, apalagi ini?

⠀⠀"Gila, beneran udah gila dia berani deketin Naren!"

⠀⠀"Gue beberapa kali liat mereka boncengan. Buseeeet boncengannya rapet banget coy, sengaja kali nempel-nempel TT, biar diajak bobo!"

⠀⠀Lara benar-benar sudah siap meledak sekarang. Ngomong seenak udel!

⠀⠀"Sumpah ya, gue tuh capek banget liat perek-perek kayak dia ngerubungin Naren. Mentang-mentang Naren gede terus pada keenakan genit-genit sama dia."

⠀⠀Terdengar tawa hyena. "Dia gak tau aja, Naren nganggep cewek cuma kayak sempak. Dipake side A, side B, abis itu ganti deh!"

⠀⠀"Hahahaha, makanya itu! Tapi dia suka kali dipake side A-B-C-D, kan lacur."

⠀⠀"Gue gak peduli ya dia mau suka kek, apa kek, yang gue mau tuh para PELACUR berenti ganjen sama Naren GUE!"

⠀⠀That's it. Thaaaat's it. Ada sesuatu yang perlu diluruskan dari otak cewek-cewek ini. Sebagai seorang feminis, Lara harus mengeluarkan uneg-unegnya. Sekarang. Juga.

⠀⠀Dengan kasar, ia menggeser selot pintu, dan mengayunnya hingga terbuka. Tiga orang mpok-mpokan berdiri di depan kaca. Yang di tengah rambutnya berwarna blonde belang-belang, melipat lengan dan melotot galak saat Lara muncul. Tapi Lara tidak memberi mereka kesempatan untuk mendahuluinya.

XOXO, Lara ParkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang