Bab 17. Kangen Bukan, Rindu Bukan, Miss U Kayaknya

32 17 30
                                    

Henan sudah sampai di kampus lantas memakirkan motornya. Ada yang nampak berbeda dari anak itu sekarang. Wajahnya lusuh seperti tidak ada semangat untuk kuliah. Terlalu datar kayak tidak ada tanda-tanda kehidupan.

Terhitung hari kedua dirinya ke kampus dengan model yang seperti itu. Terhitung dua hari juga Gina tidak masuk kampus dikarenakan masalah kesehatan. Henan hanya bersyukur kalau sakit anak itu tidak berujung kepenyakit yang serius. Gina memang hanya dilanda demam biasa dan masuk angin karena memaksa pulang di waktu tengah malam. Memberinya sebuah omelan panjang layaknya seorang Ibu yang berujung Gina hampir memblokir nomornya.

"Pagi, Henan. Masih kusam saja muka lo," sapa Nanda. Sudah sangat jarang menjumpai anak ini di pagi hari.

Henan tidak membalas. Hanya merapikan beberapa helai rambutnya sebelum akhirnya jalan meninggalkan area parkiran.

Nanda mendengkus mendapat Henan yang menjadi pendiam tidak seperti biasanya. Dia tidak tahu apa alasan jelas yang membuat temannya itu seperti ini. Yang dia tahu, hari kemarin sempat mendapat kabar kalau Gina jatuh sakit. Dia jadi berpikir kalau masalah Henan nampak tidak bersemangat dari hari kemarin disebabkan karena anak gadis itu. Nanda belum terlalu yakin, tapi sudah.

"Kenapa, sih? Murung terus. Nanti mendung berabe, Hen. Gue pakai baju tipis hari ini," ucap Nanda.

Aslinya, dia hanya ingin mengajak anak itu untuk berbicara meski tetap mendapat balasan yang sama.

"Hadeh ...," desah Nanda. Menyamakan langkahnya dengan Henan yang benar-benar pelan dan tidak bersemangat. "Dia pasti bakal sehat, Hen. Anaknya belum sekarat," pukasnya. Henan masih bersikukuh tidak memberikan reaksi apa pun.

Nanda mendelik. Rasanya sedikit jengkel melihat teman sekolahnya seperti ini. Membuatnya terlihat seperti berbicara sendiri atau pada patung hidup yang berjalan. Bahkan saat dirinya mendengkus kasar pun Henan sama sekali tidak peduli.

"Lo kelas pagi?"

Akhirnya Henan mengeluarkan suaranya. Meskipun terdengar rendah dan lemah, Nanda setidaknya bersyukur kalau temannya ini tidak mengalami sariawan mendadak karena galau.

"Iya. Ini hari Rabu, sekelas lagi kita," jawab Nanda.

Hingga keduanya sudah masuk ke kelas mendapati cukup banyak orang di dalam. Henan dan Nanda mengambil tempat di mana mereka berdua biasanya duduk, paling belakang dan sedikit di tengah. Dikarenakan posisi kursi kelas yang bertingkat layaknya sebuah terasering sawah membuat posisi keduanya menjadi yang paling di puncak.

"Lo kenapa bisa dapat kelas bareng gue? Sangkut pautnya perasaan gak ada sama jurusan lo," tanya Henan.

Memang sedari dulu dia ingin menanyakan pasal ini. Karena setiap hari Rabu, Nanda selalu berada di kelas pagi yang sama dengannya. Dan anehnya, hanya Nanda satu-satunya mahasiswa dari Fakultas Kedokteran.

"Memang gak ada sangkut pautnya. Cuman Dr. Koya yang suruh gue buat ikut kelasnya di hari Rabu. Gue juga gak tahu tujuannya apa, cuman nurut saja. Secara, dia dosbim gue, bos," jelas Nanda. Tangannya melayang merangkul Henan, "Lagian kan, bagus. Lo punya gue buat diajak ngobrol. Kadang dia menjelaskan buat gue mengantuk," lanjutnya sedikit berbisik.

Henan menganggukkan kepala membenarkan. Tidak jarang memang dirinya merasa mengantuk kala dosen bernama Dr. Koya itu menjelaskan. Mana dirinya sudah sangat dihapal oleh beliau.

"Selamat pagi anak-anak." Pria berumur yang baru saja mereka gibahkan seketika masuk.

Dr. Koya masuk dengan modelan jas panjangnya. Memberi kesan kalau dirinya benar-benar adalah seorang dokter. Berdiri di depan meja panggung seraya meletakkan buku-buku yang dibawa. Kacamata bulat yang tak pernah lepas dari wajahnya memberitahukan pasal pintarnya dosen dengan sebutan dokter itu.

[✓] Campus Love Story [Lee Haechan]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon