Karena bidadari dan pangeran itu ada yang bernama Made dan Christine selain Annisa dan Imran, tapi apakah mereka memiliki agama, tidak juga. Meskipun namamu semanis kurma tapi kau lebih memilih hosti, atau namamu segurih kriuk babi tapi kau membenci cacing pita, sehingga Tuhanmu menyuguhkan sapi, kambing, unta dan rusa, kau tetap berasal dari cahaya yang sama.

Nama adalah doa dari yang memproduksimu. Sama seperti Toko. Laris Manis, Depot Maju Jaya, PT.Sukses Abadi, setiap nama yang diciptakan membawa ransel harapan dan peta jika ada.

Tapi kita tak selalu mengikuti peta, terkadang kita berbelok dan menemukan tempat sendiri, sehingga yang memproduksi kita, akan sedikit merasa gagal.

Tapi tak apa, sedikit artinya tidak banyak, semua yang tidak berlebihan akan lebih cepat disembuhkan, diterima, dimaafkan atau cukup diserahkan dan dipasrahkan. Oh iya, aku kembali melihat sepintas cahaya, apakah itu bidadari Cahaya. Kalau begitu, karena istana Cahaya tidak memiliki piring, karena bidadari tak makan dan minum, aku akan meminta mereka menunggu, sementara aku mengendap-endap ke dapur lalu mencuri piring-piring kesayangan Mama.

Ketika aku sedang menikmati lamunanku, tiba-tiba seorang anak lelaki berkaus hijau dan bermata biru dengan telinga runcing seperti peri muncul di balik jendela, hingga wajah kami begitu dekat, hanya terhalang kaca.
"Hai."

"Aaa."

Aku tersentak hingga tak sengaja menjatuhkan pohon lampu yang segera membakar karpet dan membangunkan Nana. Nana berlari ke arahku dan mencoba mengejar bocah lelaki berambut karamel terang itu, dengan tubuh kurus berotot liat, ia begitu lincah menghindari Nana, anjing yang lebih senang dipanggil nama buatan keluargaku 'Nana', dibanding dipanggil anjing.

Nana pernah menggigit telinga anak tetangga karena ia memuji 'lucu sekali anjingmu' sejak itu Nana selalu menggonggong dan mencoba menyerang siapa saja yang memanggilnya anjing. Apakah kalian juga akan menggonggong dan menggigit, dan mengoyak, dan mengamuk seperti terserang rabies, jika ada yang menyebut kalian anjing?

Ia melompat dari lemari buku ke ranjang, lalu ke meja belajar dan kembali menuju jendela, sementara Nana terus menggonggong dan mengejarnya. Entah apa yang aku pikirkan, bukannya membantu Nana mengusir makhluk asing ini, aku malah berusaha mengeluarkan Nana dari dalam kamar dengan melemparkan tulang keluar, lalu mengunci pintu rapat-rapat.

Aku bersandar pada pintu dan menatap lelaki bercahaya yang kini juga sedang mengatur nafas sambil menatapku di seberang api. Ia menatapku dengan senyuman yang membius, hingga akhirnya aku sadar, jika api mulai menjilat langit-langit.

Aku meloncat-loncat panik, kuraih segelas air di sisi ranjang lalu berputar-putar kebingungan karena api semakin besar. Nana masih menggonggong di balik pintu kamarku, tubuhku mulai berkeringat karena ruangan yang begitu panas dan serangan rasa panik.

"Hai tenang," ujarnya sambil mengusap pipiku yang menangis ketakutan. Ia merangkulku ke dalam pelukannya, lalu mengangkat telapak tangannya yang mengeluarkan serbuk cahaya emas. Ia meniupkan serbuk itu yang seketika memadamkan api dan mengembalikan semua benda seperti semula.

Aku terperangah takjub, ia melepaskan rangkulannya dan tersenyum kepadaku, hingga aku merasa nyaman dan aman. Ia menuntunku duduk di sisi ranjang.

"Pangeran Cahaya?" aku penasaran dan menyentuh ujung telinganya, membuat ia bergidik geli dan menyingkirkan tanganku dengan halus.

PETERCANNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ