13. "Maafkan saya."

118 19 0
                                    

Bruuukk!

Haura terjatuh di hadapan semua orang yang tengah berdebat. Beberapa anak psikologi membawa Haura sambil membawa barang milik Haura. Ia menjatuhkan barang-barang milik Haura dan membuangnya hingga berserakan.

Tidak mencerminkan bahwa itu adalah Rumah Sakit yang mendidik. Bahkan para pasien yang saat itu tidak tahu apa-apa hanya kaget tanpa menyatakan apapun lagi.

“Haura,” panggil Wildan. Ia ingin segera membantu Haura berdiri namun terhenti karena Haura segera berdiri sendiri.

“Kau masih punya muka untuk mencari pekerjaan, ya?” ujar Reyhan.

“Karena saya masih harus hidup. Meskipun setidaknya saya tidak berhak untuk hidup, saya hanya ingin mencoba melakukan apa yang saya bisa lakukan.” ujar Haura sambil mengambil beberapa barang yang berserakan. Ucapan Haura begitu datar, ia tidak menunjukkan emosi atau marah karena hal itu.

“Kau tidak cocok berada di Rumah Sakit ini. Kau harus segera pergi dari sini.” Hani hanya tertawa mengejek ke arah Haura.

Wildan tak bisa membantu banyak hal. Farhan hanya melihat Haura dengan tatapan tajam, ia juga tahu tidak bisa membantu banyak hal.

Haura segera berjalan keluar dari rumah sakit sambil menenteng tas miliknya. Ia hampir menangis di sepanjang jalan, banyak yang menoleh ke arahnya.

“Dia wanita yang korupsi itu, kan? Anak dari tukang korupsi.”

“Dia cantik. Tapi kelakuannya benar-benar tidak seperti wajahnya. Bagaimana bisa dia melakukan ini terhadap Indonesia? Meskipun Ibunya orang Brazil. Dia tidak bisa menusuk dari belakang seperti itu.”

“Dia wanita yang paling buruk yang saya temui. Karena kejadian itu juga, seseorang kehilangan keluarga juga. Kecelakaan antara kedua orang itu.”

“Kasihan.”

“Dia cocok dilakukan begini.”

Haura menghela nafasnya. Ia bahkan tak bisa menangis di situasi saat ini. Ia benar-benar dipermalukan di depan umum. Bagaimana dia mengambil pekerjaan lain lagi? Hanya Rumah Sakit ini yang mau menerima dirinya.

Haura terus berjalan ke tempat parkir. Ia melihat mobil milik suaminya masih terparkir di tempat parkir. Haura hanya tersenyum, ia berharap Wildan juga tidak dipermalukan seperti dirinya.

Sementara di ruangan IGD. Semuanya canggung, tak ada yang bicara. Wildan hanya diam, Farhan juga sebaliknya.

“Kalian sungguh keterlaluan,” ujar Hasan.

“Bukankah dia pantas mendapatkan itu?” tanya Reyhan.

“Tukar posisi sama Haura, Rey. Kau harus menderita dulu supaya bisa menghargai orang lain. Bagaimana bisa kau dihargai jika kau saja masih bersikap begini? Saya pastikan, tidak ada pasien yang berobat denganmu.” Hasan tampak begitu kesal. Ia melihat Wildan sudah mendidih, emosinya hampir tak terkontrol.

“Rumah sakit tidak punya etika,” Wildan terkekeh.

“Apa maksudmu?” tanya Nina.

Wildan mengeluarkan handphonenya. Ia segera menelpon atasan.

“Kenapa saya bisa masuk rumah sakit gila ini? Mereka tidak punya sopan santun. Rumah sakit gila ini pantas mendapatkan akreditasi C. Memang pantas! Saya ingin berhenti, saya mau pindah Rumah Sakit!” ujar Wildan.

MAS WILDAN [END]Where stories live. Discover now