7. "Pernikahan antara Wildan dan Haura."

290 33 2
                                    

“Iya, saya juga sempat ragu sama berita yang beredar. Namun, tidak bisa kami sanggah. Karena pihak hakim sudah memutuskan mereka terdakwa tanpa dimintai keterangan lagi,” ujar Reza. Ia kali ini mengepal erat tangannya.

“Katanya Pak Fadly memiliki peninggalan Pondok Pesantren? Apakah itu benar?” tanya Shiwa sehabis menyeruput habis teh nya.

“Benar, Bang. Bang Fadly sudah membesarkan nama besar Pesantren Darul Hikmah. Saya juga bingung, banyak yang bilang isi pengurus pesantren juga bisa saja Korupsi. Jadi beberapa tahun belakang, tidak banyak yang ingin bergabung belajar disana.” Reza menunduk.

“Ya sudah. Saya bisa membantu, kita buka kerjasama dengan Pesantren saya. InsyaAllah, banyak sekali anak-anak yang mempercayai saya. Saya memiliki banyak koneksi dan dipercayai dimana-mana. Kita harus membuat Pesantren tersebut lebih maju, Wildan bisa mengajar disana beberapa kali. Bagaimana?” tawar Shiwa.

Reza menatap lekat Shiwa sambil mencerna ucapan Shiwa. Ia mengangguk mantap. Ia paham, bahwa ia harus mulai merubah citra dan reputasi dari Pesantren Darul Hikmah tersebut. Agar tidak semakin merosot jauh.

“Saya akan membantu, mulai dari pembangunan ulang serta mempromosikan Pesantren ini,” Wildan mengangguk yakin.

“Alhamdulillah, kita mempunyai banyak orang baik disini,” Raya hanya mengusap wajahnya sambil bersyukur.

Berbeda dengan tatapan Haura. Ia sangat yakin pasti Wildan menginginkan sesuatu dibalik itu. Tidak mungkin seseorang secara sukarela mau melakukan ini itu padahal bukan miliknya.

“Kau sedang memikirkan soal apa?” tanya Raya yang membuat Haura mulai sadar dari pikiran buruknya.

Shiwa menaruh secara perlahan cangkir teh yang dihirupnya tadi. Ia menatap Reza sambil tersenyum manis, “Jadi bagaimana? Kapan kita akan mengadakan pernikahan?”

“Kenapa sangat buru-buru? Kita sedang tidak dikejar Anjing, Pa.” Wildan menaruh gelas nya dan..

“Aaaaaa... Sakit!” Wildan meringis kesakitan setelah di tindih kaki nya oleh Shiwa. Shiwa hanya menatap dingin ke arah Wildan.

“Bagaimana? Apakah kita harus melangsungkan sesegera mungkin? Agar tidak ada zina diantara mereka?” tanya Reza.

“Nak Haura, bagaimana? Kamu mau menikah dengan Wildan? Meskipun terburu-buru?” tanya Ameena setelah duduk kembali dari kamarnya.

“Saya.. saya. Saya bersedia Ibu,” Haura terbata-bata karena takut mengucapkan kata-kata yang salah.

Maaf ya, Wiliam. Saya nggak bisa menolak keinginan dari Bibi. Bibi dan Paman menginginkan yang terbaik buat saya. Maaf, kita sudah 9 tahun bersama namun tidak ada titik akhir dari hubungan kita. Saya tidak ingin menambah dosa buatmu, Wiliam.” batin Haura.

Haura mencoba berpikir positif. Ia tidak ingin menambah dosa lagi dalam hidupnya. Ia ingin hidup tenang dan damai. Sejak bersama Wiliam ia hanya tenang dalam hal kesehatan mentalnya. Namun, berbeda ketika berdiri disebelah Wildan. Ia merasa baru, lebih baik dan lebih fresh. Haura merasa dirinya dihargai lebih jauh oleh Wildan. Tidak seperti Wiliam yang kadang semena-mena, tanpa bertanya terlebih dahulu seperti Wildan yang selalu menanyakan sebelum bertindak.

Wildan hanya menatap Haura yang tampak banyak sekali pemikiran. Sejujurnya, dia juga tidak ingin melakukan hal ini. Dia tak mau menyakiti hati Haura yang sangat ingin sekali menikah dengan Wiliam. Namun tidak ada pilihan lain, Wildan juga tidak bisa menolak takdir untuk kedua kalinya.

“Apa yang kalian berdua pikirkan?” tanya Raya setelah melihat Haura dan Wildan sama-sama menunduk.

“Tapi,” Haura angkat bicara. Semua orang menoleh termasuk Caca, Ragas dan Fira.

MAS WILDAN [END]Where stories live. Discover now