6. "Sebab cinta sama halnya dengan Agama, tidak ada paksaan didalamnya."

165 29 2
                                    

“Saya sangat yakin, kita pernah bertemu sebelumnya,” ujar Wildan yang masih ingin mengingat kejadian hari itu. Berbeda dengan Haura yang sangat ingin meninggalkan tempat itu sebab banyak kerjaan memanggilnya.

Wildan melirik ada bercak noda kotor di baju Haura. Ia hendak bertanya, namun niat nya di gagalkan oleh Haura sendiri.

“Saya ingin pergi sekarang, terima kasih, Dok. KTP ini sangat berarti bagi saya. Tidak banyak yang ingin menerima saya sebelumnya, Alhamdulillah Rumah Sakit ini mampu menerima saya.” ujar Haura.

“Rumah sakit mana?” tanya Wildan kebingungan.

“Disini. Disini saya akan mengambil kontrak dan magang beberapa tahun. Lalu setelah sekiranya sudah bisa membuka lapak sendiri, saya akan keluar dari Rumah Sakit,” ujar Haura sambil menatap koridor Rumah Sakit.

“Kenapa bisa kau tidak diterima orang? Kualitas mu sepertinya akan bagus,” Wildan mengalihkan pandangannya melirik sekitar koridor.

“Sepertinya kau tidak tahu masalah yang menimpa saya beberapa waktu lalu,” Haura tertawa kecil.

“Saya tidak ingin sok tahu padahal saya tidak tahu. Saya harus memastikan semuanya sebelum membicarakan hal itu. Makanya saya bertanya tadi ‘Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?’ bukan berarti kata itu hanyalah kata biasa yang tidak bermakna. Jika saya menanyakan sesuatu, pasti saya tidak benar-benar bercanda. Haura, hidup tidak sebercanda itu.” Wildan menghela nafas setelah menatap lekat wajah Haura.

“Hal itu tidak penting, kenapa kau masih bertanya dan kepo tentang hal itu, Wildan?!” pungkas Haura dengan tatapan begitu emosi.

“Karena pertemuan itu adalah pertama kalinya kita bisa bersilahturahmi,” ujar Wildan tersenyum kecil.

“Itu tidak penting, pergilah. Kau akan telat.” Haura berlalu meninggalkan Wildan yang masih fokus berdiri disana.

Wildan mengambil satu barang yang terjatuh. Ada buku diary dari Haura yang tertinggal disana. Wildan hanya menghela nafasnya, ia mengambil itu dan tidak akan pernah kepo tentang pribadi Haura lagi.

Namun,

Brukk!

Sebuah kertas terjatuh dari dalam diary itu. Kertas berisi banyak sekali kata-kata buruk. Kertas yang ditulis orang lain sebab tulisannya berbeda-beda.

Mati saja, Haura. Seperti orangtua mu dulu.

Haura memang wanita yang tidak pantas berada disini. Lo pantas pergi dan menyesali kesalahan lo.

Haura memang buruk! Kelakuan nya seperti kedua orangtuanya.

Kasihan orangtuamu kena karma. Karma karena korupsi uang rakyat miskin dan korupsi bahan pakan seperti minyak goreng.

Mati lo! Gua bersumpah, lo harus mati.

Gua takut lo juga korupsi di Rumah sakit ini.

Dan, masih banyak lagi kata-kata buruk yang tidak dibaca lagi oleh Wildan. Ia hanya beristighfar membaca satu persatu kata-kata disana.

“Haura terkena skandal korupsi?” gumam Wildan yang segera mencari di website.

Ia mencari di mesin pencarian google : ‘Tersangka korupsi minyak goreng di Indonesia’

Namun beberapa artikel yang keluar adalah:

Namun beberapa artikel yang keluar adalah:

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
MAS WILDAN [END]Where stories live. Discover now