44. Pyar!

649 109 110
                                    

"Bunda. Rumah depan itu kosong?" Sesil mengiris cabai merah.

Bunda Puji menoleh sekilas lalu kembali mencuci sayurannya, "Iya, kosong udah lama." Beliau meniriskan sayuran itu dan mengelap tangannya dengan handuk dapur hingga kering, "Tapi sebentar lagi ada penghuninya kok."

"Oh iya? Bunda bakal ada tetangga baru dong."

Wanita paruh baya itu tertawa, "Iya. Tetangga barunya kamu dan Chiko."

Sesil menghentikan aktivitasnya, "Hah?"

"Ayah Davin sudah membeli rumah itu setelah pertunangan kalian. Niatnya nanti setelah menikah kalian tinggal di sana."

"Bunda, itu masih lama," kata Sesil dengan pipi memerah.

Bagaimana tidak malu? Semua orang sudah mempersiapkan rumah tangganya dengan Chiko yang bahkan untuk menikah saja masih sangat lama. Keluarga Adi Wijaya dan Davin Pratama sepakat akan menikahkan mereka ketika Sesil sudah menyandang gelar S1, sedangkan Chiko, tentu sang ayah ingin agar putranya itu mapan dulu biar bisa menjadi kepala keluarga yang bertanggungjawab nantinya.

"Apa salahnya mempersiapkan dari sekarang? Nanti keburu rumah itu di beli orang lain," wanita paruh baya itu menyalakan kompor, "Lagian Bunda gak bisa kalau disuruh jauh-jauh dari kamu dan Chiko."

"Nanti kalau kamu punya bayi Bunda mondar-mandir nya tidak terlalu jauh kan," lanjutnya.

"Bunda..." rengek Sesil yang berhasil membuat Bunda kembali tertawa.

Gadis itu beranjak menghampiri calon mertuanya dan memberikan irisan cabai, bawang merah, dan bawang putih padanya.

"Kata Kak Chiko rumah itu angker," tukas Sesil.

"Chiko bilang gitu?" Sesil mengangguk. "Itu hanya alasan dia sayang, biar kamu takut terus peluk dia."

"Tapi Sesil pernah lihat sosoknya, Bunda."

Senyum wanita paruh baya itu perlahan luntur, "Memang bagaimana sosoknya?"

Sesil terdiam. Kepalanya mendongak ke atas menatap langit-langit dapur mencoba mengingat fisik orang tersebut, "Dia kekar, tinggi, dan..."

Bunda mengangkat sebelah alisnya menunggu kalimat Sesil yang menggantung.

"Kayaknya cuman itu yang bisa Sesil lihat dulu, Bunda. Lampunya temaram jadi Sesil gak begitu bisa lihat dengan jelas."

Bunda menghela napas panjang, "Itu Pak Badrul. Tukang kebun di sana."

"Pak Badrul?"

"Iya. Pemilik rumah memang menitipkan rumah itu sama Pak Badrul. Dia yang setiap hari bersih-bersih di sana. Chiko kenal kok."

"Kalau Kak Chiko kenal kenapa dia malah takut dan mengatakan kalau itu hantu?"

Bunda menaburkan penyedap rasa di masakannya, "Kembali ke jawaban Bunda awal tadi. Anak itu sedang modus sama kamu, biar kamu minta peluk."

Sesil terdiam, beberapa detik kemudian kedua sudut bibirnya tertarik ke atas menampilkan senyum manis yang menjadi candu Chiko dari pertama kali mereka bertemu. Apa yang dikatakan Bunda ada benarnya juga, sudah menjadi rahasia umum seorang Chiko adalah cowok penuh kemodusan.

"Lagi pada ngomongin Chiko ya?" Dua perempuan itu menoleh ke belakang dan mendapati Chiko yang berdiri di ambang pintu dapur.

Cowok itu terlihat tampan dengan setelan baju sekolah yang melekat di tubuhnya. Walaupun penampilannya tak serapi para pelajar lainnya tapi kali ini ada sedikit kemajuan, dasi yang fungsinya kadang diselewengkan menjadi ikat kepala kini dipergunakan dengan semestinya.

My ChikoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang