36. Buronan 2

676 111 2
                                    

Hai...!

Setelah setengah tahun lebih Author hiatus di cerita ini, hari ini Author memutuskan kembali bangun. Menyelesaikan apa yang belum sempat Author selesaikan.

Bagi kalian yang sudah lama menunggu sampai lupa sama alur ceritanya diharapkan kembali baca dari awal ya.

Terimakasih ❤️

Happy reading....

*****

"Mama! Bangun, Ma! Jangan tinggalin aku."

Bu Marni memijit pelipisnya.

"Tolong bantu saya. Saya mohon."

Beliau beralih meneguk air minum di depannya hingga tandas.

"Tapi saya--"

"Ini untuk kebaikan dia."

Tidak tahu kenapa hatinya tiba-tiba terasa seperti ditikam. Rasanya sangat nyeri mengingat kejadian masa lalu yang kembali terniang di kepalanya.

"Gak mau! Aku mau ikut Mama hiks...!"

Bu Marni tersedu dengan sendirinya. Tangisan gadis kecil itu membuat batinnya tertekan. Rasanya dia ingin memeluknya tapi tak berani. Semua orang di ruangan itu ikut hancur dan Bu Marni hanya bisa menjadi penonton di sana.

Dengan kasar wanita paruh baya itu menghapus air matanya, menghela napas lalu memijit kakinya yang terasa pegal untuk mengalihkan pikiran.

"Tadi belanjaan habis berapa ya?" Bu Marni beralih mengecek belanjaan-belanjaan yang baru dibelinya dari pasar.

Semua adalah bahan-bahan untuk membuat bubur ayam. Tidak juga, ada beberapa bahan untuk keperluan pribadinya. Walaupun dia hidup sendirian tapi dia tetap menyetok bahan-bahan pokok untuk jaga-jaga jika hari besok dia tak mampu membelinya.

"Saya cuman mau kembaliin uang Ibu. Kata Bapaknya tadi uang ibu kelebihan."

Bu Marni membuang kantong plastik yang masih penuh dengan barang belanjaan hingga berceceran.. Napasnya terengah membayangkan ketakutan yang kembali menghampiri.

Seharusnya dia melupakannya dan seharusnya juga tak ada pertemuan yang membuat batinnya tersiksa. Chiko pelanggan setia nya itu salah pilih gadis. Gadis itu sungguh tidak baik.

Untuknya.

"Argh...!" Suara rintihan seorang pria terdengar.

Wanita paruh baya itu tersentak kaget, dia celingukan mencari sumber suara yang mampir ke gendang telinganya begitu jelas. Seperti orang yang kesakitan, namun Bu Marni tak menemukan sosok tersebut.

"Kucing mungkin ya," katanya menggelengkan kepala, menghempaskan pikiran buruk dalam kepalanya.

"Bajingan!"

Seketika Bu Marni berdiri. Ini bukan kucing, tidak mungkin juga kucing bisa mengumpat.

Beliau berjalan perlahan menelusuri dengan teliti warungnya sekali lagi. Suara itu sangat amat jelas, beliau yakin seseorang yang sedang mengumpat tadi berada tak jauh dari tempatnya duduk.

"Lihat saja apa yang akan aku lakukan nanti."

Bu Marni berjalan mengendap menuju belakang warung, tempat cucian mangkok dan gelas berada.

Matanya terbelalak kaget saat melihat seorang pria duduk memunggunginya, dengan darah yang mengalir mengotori lantai.

"A-anda siapa?"

Handoko menoleh. Dia menatap nyalang Bu Marni sebelum beranjak berdiri dengan tertatih. Wanita paruh baya itu menatap bawah, lebih tepatnya ke arah kaki Handoko yang bercucuran darah, terlihat ada lubang di sana membuat dia jadi ngilu sendiri.

My ChikoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang