18. Buronan

1.7K 302 25
                                    

 
*****

Seorang pria paruh baya dengan seragam coklat khas polisi memijit keningnya lembut. Matanya terpejam menikmati walaupun pikirannya sedang kacau balau. Dia menghela napas panjang lalu menegakkan tubuh menatap orang bawahannya yang kini duduk di depannya.

“Jadi kesimpulannya kita gagal lagi?” tanyanya lebih ke arah menebak.

“Iya, Pak. Semua anggota sudah berpencar mencari keberadaan Handoko, tapi sepertinya pria itu mahir dalam bersembunyi,” terang bawahannya.

Pria dengan jabatan komisaris itu berdiri. Dia berjalan pelan sambil memikirkan cara untuk menangkap buronan yang kabur.

Dia sudah menerima semburan dari atasan karena lalai melaksanakan tugas. Jika dia tidak bisa menangkap buronan itu maka jabatannya akan jadi taruhan.

“Tolong berikan berkas tentang terpidana Handoko,” perintah komisaris.

“Baik, Pak.”

Komisaris itu melipat kedua tangannya di depan dada. Dia mengingat-ingat tentang kasus Handoko namun gagal. Pria paruh baya itu sudah mendekam di penjara selama hampir tujuh belas tahun sedangkan dia baru menjabat dari lima tahun yang lalu.

“Ini, Pak.” Polisi dengan perawakan tinggi memberikan berkas pada komisaris.

“Terima kasih,” katanya menerima berkas tersebut.

Dia membuka halaman demi halaman. Tertera foto usang yang dia akui adalah Handoko, di sana pria itu masih terlihat bugar. Entah sudah dari kapan foto tersebut diambil, yang pasti melihat fisiknya terakhir kali komisaris menyimpulkan foto itu diambil sekitar sepuluh tahun yang lalu.

“Terdakwa Handoko Prasetyo (30 tahun) diputuskan hakim sebagai tersangka pembunuhan atas seorang pengusaha bernama Ferdy Atmadja.” Komisaris mengangguk mengerti. “Ini berkas tahun berapa?”

“Kurang lebih sekitar tujuh belas tahun yang lalu, Pak.”

Beliau berdecak, “Kenapa tidak diperbarui?!” tanyanya kesal.

Kalau pertama kali penangkapan Handoko berusia 30 tahun berarti sekarang ini pria tersebut berusia 47 tahun.

Sialnya anak buahnya tidak memiliki berkas yang memadai. Mengandalkan foto yang diambil tujuh belas tahun yang lalu tidak serta merta mempermudah pencarian, walaupun mendapat dukungan dari seluruh stasiun televisi, masyarakat akan dibuat bingung menentukan pelaku hanya dengan mengandalkan ‘kira-kira’.

“Maaf, Pak. Sebenarnya kasus tersebut kembali di buka tidak lama sebelum tahanan kabur.”

Tatapan komisaris beralih, “Di buka lagi?”

“Iya, Pak. Terdakwa di duga juga membunuh istri dari korban lima bulan setelah kepergian suaminya. Dulu pihak keluarga menduga kalau sang istri meninggal karena depresi dan akhirnya bunuh diri.”

“Tapi sekitar dua bulan yang lalu keluarga menyeret kematian istri Ferdy Atmadja ke ranah hukum. Mereka mencurigai adanya kejanggalan dari tewasnya wanita tersebut. Dan semua itu mengarah pada terdakwa Handoko Prasetyo.”

Komisaris menaruh berkas di atas meja, “Jadi kasusnya berubah menjadi pembunuhan berantai?”

“Iya, Pak.”

“Jadi kemungkinan dia melarikan diri karena tahu hukuman bagi tersangka pembunuhan berantai adalah hukuman mati,” tebak komisaris.

“Kami memiliki pemikiran lain, Pak.”

Komisaris mengerutkan kening, “Apa?”

“Terdakwa Handoko melarikan diri untuk kembali melakukan aksi pembunuhan terhadap satu-satunya keluarga yang tersisa dari Ferdy Atmadja sebelum hukuman mati itu dilaksanakan,” tukasnya.

“Karena bagi orang seperti dia tidak akan berhenti sebelum kebenciannya terbayar tuntas.”

Komisaris kembali membuka berkas perkara. Mencari tahu secara detail biodata tersangka. Ferdy Atmadja ternyata bukan hanya memiliki seorang istri, dia juga memiliki putri balita di kala itu.

“Cari tahu tentang putri Ferdy Atmadja dan awasi dia.”

*****

“Hati-hati bawa motornya.”

“Jangan ngebut.”

“Ingat! Kamu bawa nyawa Sesil.”

“Awas saja kalau calon menantu Bunda lecet, uang jajan kamu Bunda potong setahun.”

“Yaelah... Sadis amat, Bun.” Chiko memakaikan Sesil jaket hitam miliknya, yang membuat tubuh kecil gadis itu tenggelam saking besarnya jaket Chiko.

Sesil menekuk ujung lengan jaket yang menenggelamkan tangannya, “Bunda, Ayah kok dari tadi gak kelihatan?”

“Ada tugas di luar, sayang.”

Gadis itu mengangguk. Dia terdiam sebentar karena Chiko tengah memakaikannya helm, “Ayah sibuk banget ya, Bun.”

Bunda Puji tersenyum, “Sebenarnya gak sibuk. Tapi gara-gara tunangan kamu ini kerjaan Ayah jadi bertambah dua kali lipat,” katanya menjewer telinga Chiko gemas.

“Aduh duh!” Chiko yang sudah mengangkat helm ingin memakainya jadi urung karena tindakan wanita paruh baya itu. “Sakit.”

Melihat Chiko menekuk wajahnya membuat Sesil terkekeh, “Kenapa bisa gara-gara Kak Chiko?”

Sebelum Bunda Puji berucap cowok itu terlebih dulu menggiring Sesil menuju motor miliknya. Kalau argumen tidak dihentikan lalu kapan sesi apel akan dimulai? Belum lagi dia sudah janji bakal memulangkan Sesil sebelum jam sepuluh malam.

“Pacarnya Chiko, anakmu ini mau berangkat kencan dulu ya!” Chiko menarik turunkan alisnya di hadapan Bunda.

Bunda Puji menghela napas, “Ya udah hati-hati bawa motornya.”

“Bunda bilang gitu udah empat kali. Sini mau salim dulu.” Chiko mengulurkan tangannya meminta Bunda mendekat.

Wanita paruh baya itu berjalan menghampiri putra dan calon menantunya, “Punya anak gini amat. Kalau minta salaman sama orang tua kamu yang seharusnya yang menghampiri, bukan malah Bunda yang disuruh mendekat.”

Chiko dan Sesil mencium tangan Bunda Puji, “Susah belokin motornya Bun,” kata Chiko.

“Ya udah sana malam mingguan. Ingat! Kamu udah janji sama Bunda bakal pulangin Sesil sebelum jam sepuluh malam ya. Awas saja sampai ingkar, kualat nanti.”

Sesil tersenyum melihat keseruan ibu dan anak di depan matanya. Keluarga Chiko sangat harmonis membuat dia tidak sabar menjadi bagian dari mereka.

Gadis itu menggelengkan kepalanya, menepis pikiran ngawur yang terlintas begitu saja.

“Kami pergi dulu Bunda,” ujar Sesil.

Bunda Puji mengusap pipi gadis itu lembut, “Iya sayang, hati-hati ya. Kalau ini anak bandel bikin ulah telepon Bunda.”

Sesil tertawa kecil tapi tak urung mengangguk juga. Pandangannya beralih saat Chiko memegang tangannya, memberi kode untuk pegangan. Akhirnya gadis itu membenarkan posisi duduknya lalu memeluk perut Chiko dari belakang.

Motor melaju dengan kecepatan sedang meninggalkan Bunda. Mereka menikmati angin malam yang berhembus menerpa tubuh, membuat rambut berterbangan seperti menari-nari.

“Kak, kita ke mana?” tanya Sesil.

“Kamu yang nentuin. Mau ke mana?”

Gadis itu menepuk pipinya dengan satu jari, menimang tempat mana yang menurutnya seru. Hingga senyumnya terbit saat satu tempat melintas di benaknya.

“Mau ke alun-alun kota, boleh?” tanya Sesil.

“Wah... Boleh-boleh. Seru tuh.” Chiko tampak setuju dengan ide Sesil. “gas poooll!”

Chiko melajukan motor agak cepat membuat Sesil mengeratkan pelukannya seraya tertawa.







_________________

Bersambung...

My ChikoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang