33

6.5K 780 210
                                    

Di depan rumah minimalis itu Lino tampak ragu untuk masuk ke dalam. Ia mengerutkan keningnya melihat beberapa kendaraan berada di pekarangan rumah Arsen.

"Tuan sudah menunggu anda di dalam."

Lino hanya tertawa kecil dengan masuk ke dalam. Penjaga rumah hanya bisa bingung melihat tingkah lelaki itu.

"Anak zaman sekarang aneh semua."

Saat menuju ruang keluarga ia melihat Arsen tidur di sofa dengan di kelilingi oleh teman-temannya. Awalnya ia sedikit marah dengan lelaki itu, tetapi saat melihat luka Arsen perasaannya menjadi sedih.

Ia berjalan menuju Arsen dengan air mata mengalir. Ia berjongkok dan memeluk tubuh Arsen dengan menggigit bibirnya.

"Kenapa nangis, hmm?" tanya Arsen dengan mengelus rambut Lino.

"Hiks ... kamu mah bikin sedih aku mulu dari dulu! Tau nggak aku ke sini sampai di marahin Mami. Padahal tadi di minta beli bahan makanan tapi dapat telepon dari Papa. Di jalan ... hiks ... apa ya aku lupa?" ucap Lino dengan menangis tersedu-sedu.

Arsen yang melihat justru tertawa. Di tambah Lino mulai menatapnya dengan tidak suka.

"Anjing lo! Gue khawatir juga tau nggak?! Gue tadi hampir nabrak kucing sama pembatas jalan. Lalu seenak jidat lo ketawa gitu? Punya akhlak nggak?" gerutu Lino dengan mengelap air matanya.

Arsen kembali membawa Lino ke dalam pelukannya. Ia menepuk kepala Lino berkali-kali untuk menenangkan lelaki itu.

"Udah luka ini nggak seberapa," bisik Arsen dengan tersenyum manis.

Bugh!

Lino memukul dada lelaki itu. Seketika Arsen terbatuk dengan memegang dadanya. Pukulan lelaki itu memang tidak main-main.

"Anjim! Nggak seberapa gimana? Lo itu emang kayak setan kelakuan suka nakutin orang lain!" sembur Lino dengan berkacak pinggang. Tangannya mulai menunjuk wajah Arsen sampai melupakan jika lelaki itu satu tahun lebih tua daripada dirinya.

"No nggak sopan gitu," tegur Ziel dengan menepis tangan Arsen.

Lino mulai menatap tajam mungkin akan keluar laser merah saat itu juga. "C'mon lo jangan ikut campur ini urusan rumah tangga kami."

Lino menatap kaki Arsen lalu mulai memegang. "Kaki mana yang sakit? Ini atau ini."

Arsen hanya bisa meringis kecil. Melihat Lino khawatir berarti lelaki itu sangat mencintai dirinya. Namun, kakinya sungguh sakit saat di pegang Lino.

"Anjir sakit itu, No! Lo kan juga pernah tuh keseleo," rintih Vano dengan meringis kecil membayangkan saja sudah sangat menyakitkan.

Akhirnya Lino melepaskan pegangan. Kemudian ia menatap Arsen yang mulai duduk. Ia melakukan jaga jarak dengan menatap tajam.

"No ... jangan ngambek gitu," ucap Arsen dengan tersenyum tipis.

"Dih, siapa lo? Emangnya kita kenal?" cibir Lino dengan menatap sinis.

Arsen menarik tangan Lino hingga bibirnya tanpa sengaja menyentuh pipi lelaki itu. Akhirnya Lino juga mulai memeluk tubuh Arsen.

"Jangan marah, ya. Aku cuman mau jadi teman hidup kamu yang menyenangkan. Aku ingin kamu bisa bahagia main denganku. Kamu tahu bukan kalau aku ini membosankan? Jadi ..."

Lino menggelengkan kepalanya dengan air mata yang kembali turun. "Jangan ... jangan main lagi. Aku nggak mau kamu sakit gara-gara basket atau aku jadi trauma main itu!"

Semuanya hanya bisa diam melihat ke dua pasangan yang sibuk dengan dunianya. Namun, tidak hanya ke dua pasangan itu.

Adya dan Ravy mulai ikut merasakan pengaruh mereka. Ravy seketika meletakkan kepalanya di atas pundak Adya dengan memainkan jari lelaki itu.

"Alamak! Gue jadi kambing congek ini! Hebat kali anakmu ini, mak!" seru Vano dengan bertepuk tangan.

Arsen dan Lino mulai berhenti berpelukan ala Teletubbies. Arsen mulai mengelap air mata kekasihnya dengan tersenyum tipis.

"Udah jangan nangis kaki aku nggak terlalu sakit," ucap Arsen dengan mengacak rambut Lino.

"Awas aja kalau main basket lalu luka lagi! Kalau nggak kepala kamu aku jadiin bola basket!" seru Lino dengan menatap tajam.

Nicho yang mendengar seketika tertawa terbahak-bahak. Kemudian di ikuti oleh yang lain.

"Sok-sokan mau tebas pala Arsen. Liat Arsen keseleo aja udah kayak kerasukan reog," cibir Nicho dengan tertawa puas.

"Cola-cola lo tau sigung nggak?" ucap Lino dengan tersenyum palsu.

"Apaan, tuh?!" seru Adya yang sedari tadi hanya diam.

"Kalian itu sama kayak sigung. Mulutnya sama-sama bau busuk!" seru Lino dengan tersenyum lebar.

Ziel hanya bisa tersenyum masam. Ia yang sedari tadi hanya diam justru ikut di buat. Memang orang sabar jodoh nya lebar seperti jidat Vano.

"Aaaaah!" pekik Lino dengan memukul meja.

Arsen seketika terkejut hingga tanpa sengaja kakinya memukul kaki meja. Semuanya juga ikut terkejut di tambah melihat Arsen yang terlihat sangat kesakitan.

"Aww, pasti sakit banget!" seru Vano dengan meringis kecil.

"Becus nggak sih lo jadi tunangan!" sembur Ravy dengan menatap tajam.

"Sabar, Bro! Liat wajah lo udah keriput," celetuk Adya dengan tertawa.

Ravy sontak memegang wajahnya. Ia mulai membuka kamera dengan raut wajah serius.

"Nggak ada ..."

"Kena tipu!" seru Adya dengan tertawa terbahak-bahak.

Plak! Bugh!

Sekarang giliran mereka yang tertawa. Kening Adya di penuhi benjol seperti shinchan.

"Haha, mampus lo babi! Udah tau punya doi kayak bom nuklir masih aja suka jahil," ledek Lino dengan tertawa puas.

Adya hanya bisa mengelus keningnya dengan menggerutu. Hal itu justru semakin membuat mereka tertawa terbahak-bahak. Memang pada dasarnya di antara sahabat itu paling suka mengejek.

"No gue denger katanya lo mau ke Korsel, ya? Ajak gue, dong! Mau liburan, nih!" seru Vano dengan tersenyum lebar.

"Demi sempak Vano yang penuh lumut! Mending gue aja yang lo ajak. Gue sebagai teman kelas yang selalu baik sama lo ..."

"Arsen kamu denger nggak suara orang ngomong? Kok gue nggak bisa liat orangnya, ya? Ajaib bener, dah!" seru Lino dengan menatap penjuru ruangan.

Ravy sontak tertawa puas. "Nggak usah di ajak beban kayak mereka. Bukannya dukung malah malu-maluin."

Adya hanya memutar matanya. "Sungguh teganya dirimu, Mas! Sudah cukup kamu duain aku, Mas! Kalau kamu iri itu bilang, Mas! Jangan bisa hina aku saja."

Ravy mengerutkan keningnya. Ia mulai berjalan menuju Ziel dengan mengelus lengannya.

"Tangan gue merinding seketika. Arsen kayaknya lo perlu manggil pengusir setan. Apalagi setannya bau jahanam," ucap Ravy dengan mengipas-ngipas wajahnya.

"Anjir jahat banget kalian ama dedek gemes ini!" seru Adya dengan wajah sedih di buat-buat.

"Heh, lo itu bukan dedek gemes! Lo itu dedek setan! Justru gue Farellino Bramasta yang merupakan dedek gemes!" seru Lino dengan menepuk dadanya bangga.

"Dan dedek gemes ini mau ngajak Kak Arsen tercinta ikut nemenin lomba. Tanpa penolakan karna di tolak itu bikin sakit," lanjut Lino dengan cengengesan.

"Huek, mau muntah!" cibir semuanya kecuali Arsen dan Ziel.

***

Jangan lupa vote dan komen :)
Arsen keseleo ternyata 🥲
Lanjut!

Ardian S2 (END)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora