22

33.2K 3.9K 68
                                    

Lino sekarang berada di mall dengan menghela nafas gusar. Awalnya ia mengiyakan tawaran dari Mita karena terpaksa tapi siapa kira gadis itu memiliki syarat yang lebih sialnya mereka harus jalan-jalan.

Bermula dia tidur dengan nyenyak di kasur. Tiba-tiba sang bunda membangunkannya dengan ancaman ia tidak dibolehkan lagi membawa motor. Ia yang terpaksa akhirnya segera mandi dan bersiap-siap.

Namun, saat menuruni tangga ia melihat ada sosok gadis yang selalu membuatnya kesal. Bagaimana bisa gadis itu tahu alamat rumahnya ditambah nampak dekat dengan sang bunda. Ia menatap kearah Ziel untuk meminta bantuan tapi naas lelaki itu juga tidak bisa membantunya.

Namun, ada lagi yang lebih sial Mita merupakan anak kenalan dari sang bunda sehingga mau tidak mau dia harus menghormatinya. Ia semakin kesal saat sang bunda membandingkannya dengan gadis itu. Mita itu cewek yang jelas lebih rajin juga pintar darinya.

Setelah pembicaraan sang bunda dengan Mita. Akhirnya dia berakhir bersama Mita di mall.

"Lo mau beli apaan?" tanya Lino dengan menatap sinis.

"Ih, jangan tatap gue gitu! Nanti gue laporin sama bunda, loh!" seru Mita yang mengandung makna ancaman.

"Gue nggak takut! Lo bilang aja sama bunda gue dan lihat bagaimana kehidupan Lo kedepannya," tekan Lino dengan menyeringai. Gadis itu pikir hanya dia yang bisa mengancam, tetapi jangan salah ancaman itu bisa saja menjadi kenyataan.

Mita tidak terlihat takut malah ia mulai berani menarik tangannya. Ia berjalan mengiringi Mita dengan muka masam.

Saat berjalan cukup lama akhirnya mereka sampai ditempat permainan. Lino mengeryikan keningnya sebenarnya dia cukup senang berada di sini, tetapi tidak ingin menunjukkan kesenangannya kepada gadis itu.

"El! Kita main ambil boneka, yuk!" ajak Mita dengan menunjuk tempat itu.

Lino hanya mengangguk pasrah saat tangannya lagi-lagi ditarik oleh gadis itu. Ia melihat gadis itu yang tampak antusias dengan mesin capit boneka. Saat melihat itu ia teringat dengan adik manisnya yang juga menyukai permainan-permainan yang ada di mall. Mereka berdua dulu kerap kali bermain juga jalan-jalan di mall.

Lalu ia menepis pikirannya jauh-jauh karena adik manisnya sangat berbeda dengan Mita. Namun, tiba-tiba teringat akan hal adiknya yang mengejar cinta sahabatnya. Ia meringis kecil ternyata adiknya dan Mita berada dalam satu spesies.

Akhirnya ia hanya mengalah dan menganggap gadis itu sebagai adiknya, tetapi juga tidak akan memberikan harapan palsu. Ia memulai permainan capit boneka dengan sekali tekan boneka itu didapatkannya.

"Wah! Makasih, El! Gue kalau main mesin ini selalu nggak pernah dapat. Lo jago banget jadi tambah suka deh!" seru Mita dengan tersenyum girang.

Lino tersenyum tipis saat gadis itu menatap boneka dengan berbinar. Namun, tiba-tiba saja gadis itu memeluk erat tubuhnya. Ia mendorong tubuh Mita dengan menatapnya tajam inilah yang dibencinya dari gadis itu. Ia memang satu spesies dengan adiknya, tetapi yang membedakan gadis itu sangat agresif yang membuat cowok manapun akan risih dan jijik.

Saat ia mengedarkan pandangannya di toko seberang terlihat sosok yang dikenalnya. Ia menyeringai dengan menatap gadis itu seketika saja ide cemerlang menghampirinya.

"Loh? Bang Ziel ngapain disini?" celetuk Lino dengan mengangkat alisnya.

Mita yang mendengar itu segera berbalik dengan antusias ia menyapanya. Namun, yang ia lihat hanyalah sekumpulan mesin permainan tidak ada yang namanya Ziel.

"El, dimana Bang Ziel? Loh, ini Elio dimana?" tanya Mita dengan menggaruk tengkuknya.

***

Saat dijalan ia tertawa puas akhirnya bisa terbebas dari kaki seribu. Ia berjalan dengan santai sembari celingak-celinguk mencari orang yang dikenalnya.

Ia menatap dompetnya dengan menyeringai tak ada rasa takut dengan ancaman sang bunda. Ia tidak sebodoh itu untuk tidak membuka tabungan baru dan memindahkan uang milik Elio. Sebenarnya ia cukup kagum dengan Elio walaupun berasal dari anak berada tapi sangat lihai berhemat bahkan uang tabungannya sangatlah banyak.

Saat berkeliling cukup lama akhirnya ia menemukan keberadaan sosok itu. Ia berjalan menuju toko buku walaupun agak ogah-ogahan melihat sekumpulan buku-buku.

"Sen, Lo ngapain di toko buku?" tanya Lino bersandar di rak buku dengan bersedekap dada.

Arsen terkesiap melihat keberadaan Lino menjawab, "Beli buku."

"Iya, gue tahu kalau Lo mau beli buku tapi buat apa?" geram Lino dengan tersenyum masam.

"Belajar," jawab Arsen dengan memegang buku kimia kelas XI.

Lino mengeryikan keningnya saat melihat buku yang dipegang oleh lelaki itu. Arsen memegang buku kimia yang berarti lelaki itu berada di jurusan IPA.

"Ehm ... itu ... Lo berada dikelas apa?" tanya Lino dengan sedikit ragu.

Arsen mengangkat alisnya menjawab, "XI IPA 1, memangnya kenapa?"

Lino menggeleng pelan ternyata lelaki itu masuk kedalam kelas unggulan. Ia hanya bisa berdecak kagum memang ini keajaiban dunia novel. Semua bakat bahkan kegantengan pun akan diambil semuanya bahkan antagonis juga memilikinya.

"Habis ini Lo mau kemana?" tanya Lino dengan mengangkat alisnya.

"Pulang," jawab Arsen dengan berjalan menuju kasir.

Lino mendengus kesal memang dasarnya es batu. Ia memegang ujung baju Arsen karena hanya lelaki itu yang dapat diandalkan untuk pulang. Uang? Ia memang memiliki banyak uang tapi dia menyayangi benda berbentuk kertas itu.

"Sen kita jalan-jalan, yuk! Anggap aja sebagai tanda pertemanan kita," ajak Lino dengan memegang tangan lelaki itu.

Namun, ia tidak tahu saja ada dua orang yang menatap tautan tangannya. Orang yang satu merasakan jantungnya berdetak kencang sedangkan yang lain menatapnya dengan heran.

Tanpa aba-aba Lino segera menarik tangan lelaki itu. Ia tersenyum puas akhirnya mereka berdua sudah menjadi teman jadi tidak akan yang membunuhnya kedepannya.

Lino berdiri didepan parkiran mall sembari menunggu Arsen mengeluarkan kendaraannya. Ia mengeryikan keningnya ternyata lelaki itu membawa mobil.

Lino mengangkat alisnya bukannya Arsen tidak menyukai menggunakan mobil bahkan bisa disebut tidak bisa mengendarainya maka dari itu Elio yang asli sering mengejeknya. Namun, sekarang apa yang telah dilihatnya sepertinya alur novel yang diceritakan adiknya tidak berguna lagi. Ia menghela nafas panjang sepertinya kali ini dia harus mencari tahunya sendiri seberapa banyak alur ini berubah.

Tit!

"EH! TIT!" pekik Lino dengan mengelus-elus dadanya.

"Masuk," perintah Arsen dengan muka datar.

Lino mengangguk pelan lalu duduk di kursi samping Arsen. Selama diperjalanan ia hanya melamun memikirkan teka-teki cerita ini. Namun, bukannya ketemu malah membuatnya semakin pusing. Akhirnya ia hanya pasrah dan membiarkan alur mengalir dengan tenang.

Sekarang mereka telah sampai di tempat yang tidak diketahuinya. Ia mengangkat alisnya dengan menatap Arsen.

"Masuk dan lihat sendiri," celetuk Arsen dengan menggenggam tangan Lino memasuki tempat itu.

"Woah!" seru Lino dengan mata berbinar.

***

Jangan lupa vote dan komen :)
Lanjut!

Ardian S2 (END)Where stories live. Discover now