52. RUMAH YANG SEBENARNYA

4.3K 186 15
                                    

Happy reading

Karena merasa tubuhnya sudah lumayan sembuh, dan juga laki-laki itu sangat bosan berada di rumah, Athala memutuskan untuk keluar dari rumah saat Bunda menemani Bibi Yuni pergi ke pasar. Athala lalu mengendarai motornya menuju warteg dengan kecepatan sedang seraya menikmati angin yang sejuk. Ia dan anak Arbani yang lainnya telah sepakat bertemu di pagi hari yang cerah ini.

Jarak dari warteg yang tempatnya berada di dekat sekolah, tidak terlalu jauh dari rumah Athala. Sekolah yang telah dibangun oleh Rivano tersebut sangat dalam bentuk yang strategis. Yang menjadikan murid-muridnya pun tidak terlalu terlambat datang ke sekolah.

Sesampainya di warteg, Athala melihat sederet motor yang telah terparkir dengan rapi. Laki-laki itu terheran, karena baru kali ini lagi teman-temannya tepat waktu, apalagi di hari yang seperti ini.

Tanpa berlama-lama lagi, Athala kemudian membuka helmnya lalu turun dari motor. Outfit laki-laki itu sangat simpel untuk hari ini. Ia hanya menggunakan kaos dan dilapisi jaket kulit yang bertuliskan Arbani tersebut dan celana jeans yang berwarna hitam.

Athala tak lupa menyugarkan rambutnya saat ia sampai di tempat. Ia memasuki warteg yang selalu menjadi tempat saksi dimana mereka semua menceritakan suka maupun duka. Di saat mereka senang atau sedih, mereka melakukannya dengan bersama-sama. Saat ada satu orang diantara mereka yang kesusahan, semuanya pasti akan siap untuk membantu satu sama lain, tanpa membedakan apapun itu.

Athala lagi-lagi terheran kala ia melihat teman-temannya duduk berjejeran di atas kursi panjang. Alis Athala mengerut dengan tatapannya yang sangat bingung melihat mereka. Tidak ada reaksi sama sekali yang ditunjukkan dari kelima orang tersebut.

"Kenapa diem-diem?" tanya Athala.

"Ngapa lo pada?" tanya Athala lagi dengan lantang. Namun masih tidak ada jawaban yang keluar dari mulut mereka.

Athala kemudian mengambil kursi dan menyimpannya tepat di depan mereka yang duduk berjejeran di satu kursi panjang. "Gue tanya sekali lagi, lo pada kenapa diem-dieman gini?"

"Gue ada salah?" Tetapi Athala merasakan tidak ada yang salah. "Perasaan gue nggak ngelakuin kesalahan dah," ujar laki-laki itu.

Bagas tidak tahan lagi. Laki-laki itu dengan spontan berdiri dengan tegap dan menatap Athala. "NGGAK ADA BOS! CUMAN ADA SATU!" Bagas berseru kemudian ia duduk lagi.

Setelah Bagas duduk, Nail lalu berdiri. "Jangan denger Bagas bos!" ujarnya.

Tidak lama kemudian setelah Nail, sekarang giliran Ijal. "BOS! LO ADA SALAH, TAPI KITA YANG LEBIH BANYAK SALAHNYA. JADI LO SALAH APA NGGAK BOS?"

"Gue gak ngerti," celetuk Athala menggeleng-gelengkan kepalanya.

Alan berdiri seraya menatap Athala dengan seksama. "Lo harus jujur ke kita bos! Kita semua ada buat lo."

Yang terakhir adalah Reja. Laki-laki itu berdiri dengan raut wajah yang tak bisa diartikan lagi. "Harus jujur, sesuai perkataan Alan. Lo yang ngajarin kita bos, jangan main sembunyi-sembunyian kalau ada masalah. Sekarang, lo harus gitu juga," ucap Reja tegas.

Sedetik setelah Reka mengatakannya, suara teriakan mulai terdengar dari telinga Athala. Teman-temannya yang sedari tadi duduk berjejeran, sekarang ia menghampiri Athala dengan mimik wajah yang seakan khawatir.

"Lo kenapa kemarin bos..." lirih Bagas dengan memegang pundak Athala.

"Bos gue pingsan, iya kan bos???" lanjut Ijal tak kalah dramatis. Kepala laki-laki itu ia sengaja menundukkannya agar bersentuhan dengan kepala Athala.

ATHALA [END]Where stories live. Discover now