Kidnapped

1.1K 76 2
                                    

Sahabat dan teman itu berbeda. Tidak semua orang dapat menjadi sahabat, seorang sahabat akan selalu ada untuk dan mempunyai ikatan emosi dan batin yang kuat, akan tetapi seorang teman adalah orang yang hanya ia kenal dan tidak ada ikatan batin dan emosi yang sama.  Zahvi beruntung ia memiliki sahabat-sahabat demikian, yang selalu ada untuknya. Walaupun ada sahabat baiknya yang menjadi duri dalam rumah tangannya, hingga membuat citra buruk didepan suaminya.
    
"Gue gak mau ninggalin lo sendiri." ucap Ania.
    
"Udah gak papa kok."
    
"Lo aja duluan pulang."
    
"Udah lo aja. Ntar lo telat lagi."
    
"Gak. Lo kan lagi sedih. Ntar lo hilang akal terus ...."
    
"Dih, amit-amit deh." Zahvi mendorong Ania masuk ke dalam mobil. "Udah pulang sana masuk, kasian tuh Bapak taksinya nunggu lama."
    
Ania memeluk Zahvi. "Jangan aneh-aneh lo."
    
"Ya."
   
"Dadah sayang." Ania melambaikan tangannya, kemudian masuk kedalam taksi. "Gue pulang dulu ya, sayang."
    
"Jijik. Hati-hati lo. Jangan lupa dandan yang cantik."
    
"Aishh .... benci gue." sungut Ania.
    
"Dadah." Zahvi melambaikan tangannya.
    
Zahvi berdiri dipinggir jalan menunggu taksi untuk pulang sambil menyeruput es jeruk ditangannya. Biasanya ketika pulang ia akan dijemput Mirza, tapi sekarang ia sendiri. Zahvi tidak punya kesempatan lagi untuk mempertahankan rumah tangganya karena sudah hampir dua minggu ia pergi dari rumah, Mirza tidak datang dan mengajaknya pulang. Zahvi pasrah dengan keadaan, ia akan tetap tegar menerima apapun yang akan terjadi, sekalipun harus benar-benar berpisah, walaupun dalam hati ia tetap ingin bersama Mirza.
    
Sebuah mobil berhenti. Dua orang laki-laki tak dikenal menarik paksa Zahvi masuk ke dalam mobil. Zahvi memberontak sekuat tenaga. "Siapa kalian? Kenapa kalian maksa saya. Lepasin saya!"
    
"Diam!" bentak orang disampingnya.
    
"Tahan tangannya, ikat dengan tali!"
    
"Lepasin saya!" Zahvi memukuli penculik yang mencoba mengikat tangannya."
    
"Diam!" Tangan Zahvi di cekal hingga tidak bisa berubah apa-apa.
    
"Kalian kenapa culik saya?"
    
"Banyak tanya! Lebih baik kau diam!"
    
"Bajingan!" umpat Zahvi.
    
Tamparan kuat mendarat di pipi Zahvi hingga ia tersengkur dan kepadanya membentur jok mobil didepannya.
    
"Kau gila! Bos bisa membunuh kita kalau kau melukai fisik wanita ini!" bentak orang satunya, ia membantu Zahvi duduk kembali walau dengan kasar.
    
"Mulutnya tak bisa dijaga!"
    
Zahvi membalas lelaki itu dengan menendangnya dengan sekuat tenaga. "Kau kira saya akan diam kau tampar!" bentak Zahvi.
    
Lelaki itu naik pitam, tangannya dengan geram ingin mencekik Zahvi, tapi ditahan oleh temannya. "Jangan melakukan apapun jika kita tak mau mati konyol."
    
"Lepasin saya, kalian mau bawa saya kemana?"
    
"Diam! Kau hanya umpan! untuk apa culik kau tak ada guna juganya."
    
"Saya salah apa! Lepasin saya." Zahvi memohon.
    
"Ini perempuan tak bisa diam! Astaga Ton." Penjahat itu menjambak rambutnya. "bibir nya berdarah gara-gara kau tampar, mati kita jadi santapan buaya." ucapnya panik.
    
"Maaf ...." ringisnya.
    
"Matilah kita, aku tak mau mati!"
    
"Lepasin saya, saya jamin kalian ga akan mati!"
    
"Tambah mati tolol!" ucap lelaki yang menamparnya tadi.
    
"Kalau kalian lepasin saya, kalian masih bisa ditoleransi. Saya ... saya berjanji kalian akan aman."
    
"Diam! Kau bawel kali ya!" bentak supir.
    
Zahvi meringis, ntah kemana penculik ini membawanya. Mobil itu dibawa ke jalan yang tidak tahu, masuk kedalam keluar hutan, masuk sebuah perkampungan dan melalui jalan setapak, Mobil itu berhenti dipinggir sungai, Zahvi ditarik keluar oleh penculik.
    
"Lepasin saya!" Zahvi mulai ketakutan.
    
"Diam! Ayo jalan!"
    
Dua orang penjahat membawa Zahvi naik sebuah perahu motor dan melesat meninggalkan daratan.
    
Zahvi menangis sepanjang jalan. Ia sangat ketakutan. Sampai di pinggir sungai Zahvi ditarik kasar agar mengikuti para penjahat. "Lepasin saya ...."
    
"Diam! Jalan yang cepat!"
    
"Papah ...."
    
Zahvi diseret masuk ke dalam gubuk reyot, penjahat-penjahat memaksa Zahvi duduk di kursi, mereka juga mengikat tubuhnya.  Seorang penculik memegang dagu Zahvi. Matanya menatap setiap lekuk wajah wanita didepannya. Zahvi melongos, ia tak sudi menatap wajah jelek penjahat ini. "Ada yang menamparnya?"
    
"Tidak Bos."
    
"Benarkah?" tanyanya sambil menekan pinggang. "Apa ada yang menyakiti kau?"
    
Zahvi menoleh kepada dua orang penculik tadi. Keduanya menggeleng. Sesuai kesepakatan diperjalanan di perahu ketiganya sepakat, jika ada yang datang menyelamatkan Zahvi mereka berdua harus membantu dia melarikan diri. "Gak."
    
"Lalu?"
    
"Kau ini penculik atau apa? Kenapa kau peduli! Lepaskan saya!"
    
"Aku tak peduli tapi aku tak ada masalah dengan kau. Kau itu cuma pancingan! Sudah lama kau jadi incaran hanya saja terlalu banyak yang melindungi dan kali ini kami dapat cela untuk menculik kau." ucapnya dengan riangnya.
    
"Lepasin saya!"
    
"Lepas-lepas, kau kira enak culik kau. Aku lepaskan kau setelah suami kau datang." Telunjuk penculik itu menunjuk-nunjuk wajah Zahvi sebagai penekanan setiap kata dari ucapannya.
    
Zahvi tertegun. "Ada masalah apa kalian dengan suami saya?"
    
"Hmm ...." Penjahat itu menekan pinggang. "tak perlu tau. Intinya kalau dia mencintai kau dia pasti datang." ucapnya tertawa.
    
Zahvi menunduk, tak mungkin Mirza datang menyelamatkannya, mengingat hubungan mereka yang berada diujung tanduk. "Dia ga akan datang! Lepasin saya!"
    
"Kenapa apa suami kau tak mencintai sama kau?" ejeknya.
    
"Lepasin!" bentak Zahvi.
    
"Kau tau, cinta itu tekadang tak bisa diucapkan dengan kata-kata tapi sebuah tindakan."
    
Zahvi mendelik marah, lelaki jelek didepannya ini penculik atau penyair cinta. "Suami saya gak akan datang, kau paham! Gak guna menculik saya!"
    
"Tak mungkin dia pasti datang, aku sudah mengirim pesan sama dia."
    
Zahvi ketakutan, ia hanya berharap agar ada orang yang menyelamatkannya, ia tidak berharap bahwa orang itu adalah Mirza, karena tidak mungkin suaminya akan datang dan menyelamatkan dirinya. "Lepaskan saya."
    
"Diam!!"
    
Brak ...!
    
Pintu gubuk reyot itu ditendang hingga hancur, didalam Zahvi seseorang yang bukan menjadi harapannya datang dengan tatapan tajam. "Mas Mirza ...." Zahvi ingin menjerit bahagia, sedih dan marah. Saat sosok itu tidak menjadi harapan, ia datang dan menjadi pahlawan.
    
"Nah! Hahaha .... datang juga kau."
    
Penjahat tubuh bersorak-sorai. "Sudah ku bilang suami kau pasti datang." Penjahat melepaskan ikatan pada Zahvi dan menariknya untuk berdiri. Sebuah senjata tajam dia acungkan ke leher Zahvi yang siap kapan saja menggorok lehernya.
    
"Lepasin saya!" Zahvi memohon.
    
"Serahkan diri kau, Mirza. Kalau kau mau istri kau ini selamat."
    
Zahvi tertegun. Ia memberikan gelengan pada Mirza. "Pergilah, Mas."
    
Mirza diam, ia hanya menatap Zahvi yang kacau.
    
"Pergilah dari sini. Aku gak papa." Zahvi tidak mau Mirza menyerahkan dirinya.
    
"Hahaha ... kurang apa bini kau ini, cantik, imut, baik pula, rela dia suruh kau pergi, ga usah selamati dia."
    
"Bos?" panggil seseorang anggotanya dengan buru-buru. "Astaga!" Penjahat kaget saat melihat Mirza berdiri disampingnya.
    
Mirza menendang orang itu sampai menabrak dinding gubuk hingga hancur.
    
"Brengsek ...!" umpat orang yang ditendang dengan kesal ia bangkit dari tumbukan dinding bambu yang hancur.
    
"Hahaha ... hebat! Tendangan kau sampai hancur gubukku. Tapi ...." Penjahat mencengkram kuat lengan Zahvi. "Serahkan diri kau Mirza, baru lepaskan istri kau ini."
    
"Kau pikir saya akan menyerah begitu saja."
    
Bos penjahat itu tertawa mengejek. "Benar kata kau, suami kau ini tak cinta sama kau. Kalau dia cinta tak mungkin rela lihat kau disakiti."
    
"Dia tak bersyukur punya istri macam istrinya ini. Kalau aku takkan ku biarkan dia keluar rumah." ucap orang yang ditendang Mirza tadi dengan remeh.
    
"Aku dendam pada kau bukan istri kau, kalau bukan karena kau anakku tak mungkin dalam penjara. Serahkan diri kau sekarang, tapi kalau kau tak mau terpaksa istrimu sebagai cara ku balas dendam." ucapnya dengan serius. Satu sayatan kecil mengenai leher Zahvi hingga mengeluarkan darah.
    
"Auwh ...." Zahvi meringis kesakitan.
    
"Sudahlah lebih baik kau mati daripada kau hidup bersama laki-laki yang tak peduli sama kau dan anak kau."
    
"Mereka belum punya anak, Bos." saut anggotanya.
    
"Lepaskan istri saya!" bentak Mirza
    
"Hahaha ... marah dia, Bos."
    
"Serahkan diri kau dulu."
    
Mata Mirza kian menajam tangannya mengepal kuat siap memberi pelajaran kepada para penjahat. Zahvi terus menggeleng agar Mirza tidak menyerah dan pergi dari sini. "Baiklah."
    
Zahvi tertegun, kalimat itu membuatnya senang sekaligus sedih. Senang karena Mirza peduli namun sedih jika melihat Mirza disakiti. "Jangan, Mas. Mas pergi aja dari sini!"
    
Penjahat tersenyum bahagia. "Harusnya kau senang perempuan! Kau ini di tolong salah tak ditolong salah! Apa mau kau ini?" Bos penjahat menggerakkan pisau ke atas sebagai bentuk perintah. "angkat tangan kau. Cepat!"
    
"Jangan, Mas!"
    
Mirza menatap datar Zahvi yang terus melarangnya. Perlahan mengangkat tangan ke atas, sebagai tanda jika ia menyerah .
    
"Turun badan kau! Cepat!"
    
Mirza menurut, lelaki ini berdiri dengan bertumpu pada dengkulnya. Lelaki itu tertawa puas, akhirnya Mirza menyerah. "Kau panggil semua anak buah ku. Cepat!" perintahnya.
   
"Baik bos."
   
"Jangan lukai suami saya." Zahvi memohon.
    
"Diam! Sekarang kau tau suami kau cinta sama kau."
    
Seluruh anggota penculik itu datang dengan berbagai senjata. "Tadi dia berani sangat pukul kita, Bos. Tapi sekarang dia lemah karena wanita." ejek anggotanya disambut tawaan mereka.
   
"Hina kau!"
    
"Hahaha ... benar-benar, dia tak mau istrinya mati!" ucap Bosnya. "Kalian hajar dia tapi jangan menggunakan senjata tajam, aku ingin dia mati dengan pukulan kalian."
    
"Baik, Bos."
    
"Jangan! Saya mohon jangan lukai suami saya."
    
Mereka tak peduli dipukulnya Mirza, menendang bagai bola, menempeleng dan menginjak. Mirza hanya diam tanpa membalas sedikitpun hanya ringisan-ringisan kesakitan yang terdengar.
    
"Jangan ... lepasin suami saya! Mas Mirza!"
    
"Hahaha ... puas aku. Hajar dia! Jangan beri ampun. Ketika dia sudah setengah mati baru kita masukkan dalam kolam buaya hahaha."
    
"Mas Mirza ...." Zahvi tak bisa berbuat apa-apa kecuali menangis.
    
Mirza meringis saat tangannya diinjak oleh tiga orang. "Rasakan gimana sakitnya waktu kau lempar kami ke batang pohon."
    
"Hahaha ... Pukul! Pukul!" teriak bosnya.
    
"Lepasin ...." Zahvi menginjak kaki orang itu yang lengah karena kegirangan. Zahvi mengambil kayu segi empat dipinggir pintu dan memukul orang-orang yang menganiaya Mirza. "Penjahat jahanam!" umpat Zahvi.
    
"Kau wanita minggir!" Seorang mendorong hingga keluar gubuk, kepala Zahvi membentur sebuah batang pohon hingga berdarah.
   
Zahvi tak tinggal diam, dipukulnya orang itu hingga pingsan. Si Bos bertepuk tangan, pertunjukan luar biasa, seorang istri mencoba menyelamatkan suaminya.
    
"Argh ...." Si bos menjerit kesakitan kemudian terduduk lemas.
    
Polisi datang. Zahvi ditarik menjauh dari lokasi. "Lepasin saya. Mas Mirza disana."
    
"Tidak Mbak. Saya harus membawa Mbak pergi!" Tentara muda itu tanpa peduli menarik Zahvi menjauh, dia sudah berjanji akan membawa Zahvi kembali.
    
"Mas Mirza dia ...."
    
"Ada Bang Handoko disana. Tenang lah Mbak semua baik-baik saja." Zahvi dibawa ke perahu yang mereka gunakan mereka untuk sampai kemari.
    
"Ku rasa patung es mulai mencair." ucap Handoko ditengah membantu Mirza berdiri. Handoko tertawa. "Kau terlalu banyak luka, luka hati dan luka fisik." ejeknya.
    
Mirza mengusap darah di sudut bibirnya. "Payah." umpat Mirza.
    
Lagi, Handoko tertawa. "Kau memang payah! Sudah luka kau terlalu parah kita pulang."
    
Handoko menuntun Mirza berjalan menuju sungai. "Baru sadar kau tentang cinta kau sama Mirza?"
    
"Maksud kau apa?"
    
Handoko tertawa, saking senangnya dia hari ini mengetahui Mirza dihajar habis-habisan karena ingin menyelamatkan Zahvi. Ia sampai menyebut Zahvi dengan nama Mirza. "Maksudku Zahvi, Nang. Kenapa kau nunggu dihajar dulu baru tau kau cinta istrimu."
    
"Diamlah!"
    
"Tak mau mengaku. Bapak minta tolong bantu kau selamatkan Zahvi. Aku sebenarnya sama Gunawan sudah lama datang, aku lihat semuanya cuma ku diam kan saja." ucap Handoko tertawa renyah.
    
"Kau biarkan saya dipukuli mereka."
    
"Tak apalah, selama ini kau tak pernah dipukul sampai babak-belur begini. Romantis sangat kau hahaha."
    
"Senang kau!"
    
Handoko menggeleng ia masih tidak menyangka Mirza akan rela dipukuli, selama ini yang ia tahu sahabatnya ini apatis. Sampai di pinggir sungai. Zahvi turun dari perahu dan menghambur pelukan pada Mirza dengan menangis tersedu-sedu. Mirza mengelus punggung yang bergetar itu. "Ma-makasih ... Mas."
    
"Kita pulang."
    
Zahvi mengangguk lemah, tapi tiba-tiba langkah kakinya terasa melayang, kepala terasa berat dan penglihatan berubah gelap. "Zahvi!" Mirza menangkap tubuh Zahvi yang tergulai lemas. "Hei! Bangun! Bangun!" Mirza menepuk-nepuk pipi Zahvi.
    
"Nang bawa ke perahu kita pulang." Handoko juga ikut panik.
    
Keadaan Zahvi begitu lemah, wajahnya pucat dengan beberapa bercak darah diwajah. Zahvi terbaring lemah di ranjang rumah sakit, impus terpasang ditangan. Luka dileher, dikening dan beberapa lebam tangan sudah diobati.
    
"Saya tidak apa-apa, tidak perlu diobati." tolak Mirza saat Dokter hendak mengobatinya.
    
"Tapi Anda terluka parah."
    
"Tidak."
    
Chandra, Santi dan Rahman datang terdengar ayah dari sang putri terus mengomel, cukup jengkel dengan besannya, ia datang jauh-jauh dari Lampung ke Jakarta. "Apalah kau ini. Kau bilang anakku akan aman-aman saja disini karena kau melindunginya, tapi apa anakku jadi korban penculik."
   
"Aku minta maaf, Man. Janganlah marah-marah begitu nanti kau darah tinggi." ucap Chandra.
    
"Memang darah tinggi aku. Kayak gak guna kau!"
    
"Sudah, Man. Yang penting Zahvi selamat, kan. Kita tinggal tunggu dokter keluar." Chandra mencoba menenangkan, dibawanya besan duduk dikursi tunggu.
    
"Siapa yang nyelamati, Izah?"
    
"Suaminya lah, anakku." saut Chandra.
    
"Mana Mirza?" tanya Rahman.
    
"Kau itu belum rabun, tak nampak kau anakku besar tinggi didepan pintu."
    
"Mau ngajak aku ribut kau." Rahman menghampiri Mirza yang bersandar di samping pintu rumah sakit. "Ya Allah, Mirza. Kamu babak-belur begini. Harus diobati ini."
    
"Tidak apa-apa, Pah. Tidak perlu diobati." tolak Mirza.
    
"Keras kepala macam kau, Chan."
    
"Kenapa kau selalu mau bawa-bawa aku." ucap Chandra dengan jengkel.
    
"Sudah, Nak. Obati banyak orang yang jaga Izah disini."
    
"Tidak apa-apa. Ini hanya luka kecil."
    
Santi mendekati Mirza, ia menyeret putranya untuk diobati. "Gak dipaska gak akan mau! Dok silahkan obati."
    
"Siap, Bu."
    
Dokter keluar dari ruang rawat Zahvi. Buru-buru keluarga menyerbu Dokter menanyakan bagaimana Zahvi. Dokter wanita itu tersenyum. "Keadaan pasien dan kandungan baik hanya mengalami syok dan tekanan sehingga membuat pasien pingsan."
    
"Alhamdulillah."
   
"Kandungan apa, Dok?" tanya Rahman.
    
Dokter terkekeh. "Maksud saya janin Bu Zahvi."
    
"Jadi putri saya hamil, Dok?" tanya Anita.
    
"Iya Pak, Bu. Janin Bu Zahvi kuat dalam usianya yang baru tiga minggu, tolong dijaga kesehatannya, jangan sampai stres, apa lagi sampai terjatuh."
    
"Baik Dok. Terimakasih. Kami boleh masuk?" tanya Anita lagi.
    
"Silahkan."
    
Zahvi sudah sadar hanya saja masih dalam keadaan lemah. "Nak?" panggil Rahman.
    
"Papah ...."
    
"Kamu baik-baik aja, Nak?"
    
"Iya, Pah. Cuma luka sedikit aja."
    
"Alhamdulillah."
    
Zahvi celingukan mencari dimana Mirza berada. Ia ingin melihat lelaki itu.
    
"Kamu kenapa, Zah?"
    
"Gak papa kok, Pah." Mirza masuk bersama Santi. Luka lebam dibibir dan pipi, dibagian pelipisnya terdapat luka yang sudah diperban. Zahvi tersenyum tipis Mirza datang menjenguknya.
    
"Papah sangat bangga dengan suami kamu ini, Nak. Dirinya sendiri yang menyelamatkan kamu dari penculik." Rahman menepuk pundak kekar menantunya. "Terimakasih, Nak."
    
"Apa yang Papah bangga kan dari mantu Papah ini? Dan ucapan terimakasih itu untuk apa?"
    
Kening Rahman mengerut saat mendengar penuturan istrinya. "Ya, karena Mirza sudah menyelamatkan anak kita, lihat keadaan Mirza ga baik-baik aja."
    
Anita tersenyum kecut. "Ini semua wajar, Pah. Anggap aja ini ...."
    
"Mamah?" Zahvi menggeleng agar mamah nya tidak memberi tahu kejadian sebenarnya.
    
"Kamu diam, Zah. Papah kamu berhak tau."
    
"Tapi Mah ...."
    
"Ada apa ini?" Rahman kebingungan.
    
"Anita semuanya sudah membaik, kan. Mirza sudah menebus kesalahannya. Kita gak perlu lagi bahas ini." ucap Santi.
    
"Gak perlu dibahas gimana, Mbak? Anakmu mengecewakan keluarga kami dan Papahnya berhak tau."
    
"Mengecewakan bagaimana?" Rahman semakin bingung.
    
"Mirza ini sudah menuduh putri kita, Pah. Dia ...."
    
"Mah jangan."
    
"Kamu cukup diam, Zah."
    
"Menuduh apa? Jangan membuat teka-teki." Rahman tidak sabaran.
    
"Mirza nuduh Izah selingkuh dan melakukan KDRT. Mantu yang Papah banggakan ini udah nyakitin anak kita, baik fisik maupun batinnya."
    
"KDRT?" tanya Chandra yang baru masuk ke ruang rawat Zahvi.
    
"Iya, Mas. Anak Mas melakukan kekerasan terhadap anak kami." tekan Anita.
    
Rahman terdiam mencoba mencerna semua ucapan istrinya. "Ini semua ... apa yang sebenarnya terjadi? Mirza dia ...."
    
Bruk ...!

𝐑𝐀𝐘𝐍𝐎𝐑 [𝐒𝐄𝐂𝐑𝐄𝐓 𝐌𝐈𝐒𝐒𝐈𝐎𝐍] 𝐄𝐍𝐃Where stories live. Discover now