Part 16

483 57 1
                                    

Part 16

Rina menundukkan wajahnya dengan mata bengkaknya, hari ini ia banyak sekali menangis terutama saat ia harus dipisahkan oleh putranya sendiri. Namun setelah mendengar penuturan bundanya, tentang bagaimana bundanya itu kesepian di rumahnya selama ini sampai harus bekerja. Rina jadi bisa merasakan apa yang dialami bundanya, dan mungkin perasaannya sekarang tidak akan seberapa bila dibandingkan dengan perasaan bundanya yang cuma bisa bertemu dengannya beberapa kali dalam setahun setelah sekian lamanya.

Sekarang Rina juga bisa mengerti, kenapa bundanya sering memintanya untuk video call setiap malamnya, bundanya ingin melihatnya baik-baik saja meskipun di hatinya sebenarnya sangat ingin bertemu dengannya. Dengan lembut, Rina merengkuh tangan bundanya dan menatap matanya.

"Kenapa Bunda enggak pakai uangnya?" tanya Rina kali ini.

"Untuk apa? Bunda kan punya uang sendiri. Bunda bekerja selain karena Bunda kesepian di rumah, Bunda juga enggak mau tergantung sama kamu, apalagi kamu mengirimi Bunda dengan uang suami kamu. Jadi Bunda membiarkannya di rekening, Bunda juga berpikir kalau kamu mungkin enggak akan selamanya dengan Ali. Dan ternyata felling Bunda benar, kamu dan Ali akan bercerai sekarang."

"Dulu, Bunda sempat berpikir kalau kamu pasti akan bahagia bersama dengan Ali. Dia anak dari sahabat Ayah kamu, yang jelas-jelas sangat baik dengan kita. Tapi semakin lama, kamu semakin jauh dari Bunda, kamu juga enggak pernah terlihat bahagia. Mungkin bibir kamu tersenyum, tapi Bunda merasa kalau semua itu palsu." Wanita itu merengkuh tangan putrinya dengan tatapan bersalah.

"Maafkan Bunda," ujarnya lagi.

"Kenapa Bunda malah minta maaf?"

"Karena Bunda kamu harus melewati banyak penderitaan dari suami kamu, padahal sejak kecil kamu juga enggak pernah bahagia, kamu enggak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah, kamu juga sempat di-bully karena itu. Bahkan saat kamu beranjak remaja, kamu harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan kamu sendiri, kamu enggak pernah bahagia sampai sekarang." Wanita itu menitikkan air matanya, membuat putrinya turut menangis karena ucapannya.

"Kalau Bunda bisa menukar nyawa Bunda demi kebahagiaan kamu, Bunda pasti sudah melakukannya sejak lama," ujarnya lagi sembari menyentuh dadanya seolah apa yang dikatakannya adalah benar-benar dari hatinya.

"Jangan bicara seperti itu, Bunda. Mungkin aku kurang beruntung dalam hal kebahagiaan, tapi bukan berarti aku enggak pernah bahagia sama sekali. Bunda tetap sehat dan hidup bersamaku di dunia ini, rasanya sudah cukup membuat aku bahagia. Lalu Tuhan dengan baiknya Dia, aku diberi titipan seorang anak yaitu Rian, karena itu kebahagiaan aku semakin bertambah. Mungkin kehidupan aku enggak bisa dikatakan sempurna, tapi keberadaan Bunda dan Rian itu sudah cukup buat aku bahagia untuk melalui ini semua."

"Kamu selalu menjadi anak yang baik, Rin. Bunda beruntung punya anak seperti kamu," ujar bundanya yang justru ditundukkan wajah oleh Rina.

"Aku minta maaf, Bunda."

"Kenapa kamu malah minta maaf?"

"Aku minta maaf karena aku terlalu menuruti keinginan Mas Ali untuk enggak pulang menemui Bunda, padahal di sini Bunda sangat merindukan aku dan Rian. Aku baru saja kehilangan calon bayiku, dan sekarang aku juga harus jauh dari anakku. Meskipun enggak bisa dibandingkan, tapi aku paham dengan apa yang Bunda rasakan selama ini. Maafkan aku, Bunda." Rina berujar tulus yang disenyumi oleh bundanya.

"Enggak apa-apa. Sebagai seorang istri, kamu memang harus patuh dengan suami kamu, jadi Bunda bisa mengerti."

"Tapi sayangnya Mas Ali yang enggak pernah mau mengerti," sambung Rina dengan tatapan bersalah, terutama saat mengingat bagaimana suaminya itu begitu mengekangnya dan menyuruhnya melakukan apapun yang diinginkannya.

Rindu Arti Bahagia (TAMAT)Where stories live. Discover now