Part 15

481 46 0
                                    

Part 15

Di dalam mobil travel yang ditumpanginya, Rina tak henti-hentinya menangis, merasa tak percaya dirinya akan berpisah jauh dari putranya. Padahal selama ini Rina tak pernah lama meninggalkannya, hanya sesekali ia membiarkan putranya menginap di rumah kakek dan neneknya. Lalu apa yang harus ia lakukan sekarang, saat ia dipaksa untuk meninggalkan putranya untuk waktu yang ia sendiri tidak tahu sampai kapan.

Mungkin Rina masih bisa menahan perasaannya saat merindukan Rian, namun bagaimana dengan putranya yang sudah terbiasa bersamanya. Rina takut, putranya terus menangisinya dan mungkin sampai sakit saking rindunya.

Entahlah, sebenarnya Rina juga tidak mengharapkan hal buruk itu terjadi, namun rasanya cukup sulit berpikir positif untuk saat ini. Namun jauh di dalam hatinya, Rina sangat berharap putranya baik-baik saja meskipun tanpanya dan juga makan dengan baik walaupun Rina tidak bisa memasak makanan untuknya.

Cukup lama di perjalanan, akhirnya kini Rina sudah sampai di kota kelahirannya, yang jaraknya cukup dekat hanya ditempuh lima jam dengan melewati jalan tol. Sedangkan sedari tadi sang sopir yang mendengarnya menangis hanya bisa diam, meskipun sesekali lelaki itu bertanya jalan menuju rumah bundanya.

"Setelah ini belok ke kanan ya, Pak. Nanti ada rumah cat biru, kita turun di sana." Rina menghapuskan air matanya, ia ingin terlihat tegar saat bertemu dengan bundanya, walau sebenarnya hati dan perasaannya tengah hancur sekarang.

"Iya, Bu." Sang sopir menjawab patuh, sedangkan Rina kembali dengan kediamannya, sampai pada akhirnya mobil yang ditumpanginya itu benar-benar berhenti di depan rumah bercat biru yang dikenalinya. Rumah siapa lagi kalau bukan rumah bundanya, rumah yang menjadi saksi bisu di mana ia tumbuh hingga dewasa.

"Ini kan rumahnya, Bu?" tanya sang sopir memastikan yang diangguki oleh Rina.

"Iya, Pak." Rina menjawab lemah lalu membuka pintu mobil dan turun dari sana. Tubuhnya yang baru keguguran tentu saja tidak bisa dikatakan baik-baik saja karena setelah ia dirawat, ia justru berada di perjalanan selama berjam-jam. Jadi pantas saja, bila Rina tak cukup memiliki tenaga untuk berbicara kecuali menangis.

Sang sopir turut turun dari mobilnya lalu berjalan ke arah bagasi untuk mengambil beberapa barang-barang milik Rina, sedangkan pemiliknya tengah berjalan pelan ke arah rumah bundanya. Sebuah rumah yang sangat ia harapkan untuk ia datangi, namun saat ia benar-benar datang, ia justru membawa kabar tak mengenakan tentang rumah tangganya.

Di depan pintu rumah bundanya, Rina menghembuskan nafas panjangnya beberapa kali, ia tampak ragu untuk mengetuknya. Sedangkan di dekatnya, barang-barangnya bergantian dibawa dan diletakkan di lantai oleh sang sopir.

"Semua barang-barangnya sudah saya bawa ke sini ya, Bu." Sang sopir berbicara ke arah Rina yang mengangguk mengerti.

"Terima kasih, Pak. Semuanya jadi berapa?" tanya Rina sembari membuka tasnya, yang untungnya ada uang cas dua juta di dalamnya.

"Saya sudah dibayar, Bu. Tugas saya sudah selesai sekarang, kalau begitu saya langsung pamit pulang," ujarnya sopan yang sempat didiami oleh Rina meski pada akhirnya ia menganggukinya.

"Iya, Pak. Hati-hati, sekali lagi terima kasih."

"Iya, Bu."

Melihat punggung sang sopir yang kian menjauh, Rina kembali menghembuskan nafas panjangnya sembari memejamkan matanya. Ia masih tak percaya semua ini terjadi di hidupnya, padahal sebelum ini Rina selalu berpikir bila ia akan baik-baik saja meskipun bercerai dari Ali, namun saat itu ia tidak berpikir kalau mertuanya akan menahan putranya.

Dulu, Rina yakin bila ia pasti bisa melewati apapun rintangannya asalkan Rian bersamanya. Bahkan saat nanti ia kesusahan ekonomi sekalipun, ia berjanji tak akan pernah menyerah demi putranya asalkan dia juga bahagia, lalu bagaimana dengan sekarang? Putranya yang membuatnya ingin bertahan justru jauh darinya dan hilang dari jangkauan tangannya.

Rindu Arti Bahagia (TAMAT)Where stories live. Discover now