53

875 120 22
                                    

"Orang lain gak bisa dengar suara rintihan hati di setiap detiknya, menikam tajam bertubi-tubi di setiap detaknya jantung. Mengeluh pun sudah tak ada guna."

_Raka Derana Kanagara_












Happy Reading



***




Semesta itu bagaikan koin kehidupan, memiliki dua buah sisi yang berdekatan namun dengan menatap arah yang berbeda.

Ibaratkan saja setiap sisi dari koin itu merupakan jalan yang bercabang dengan sebuah pilihan pada plang yang terpampang. Hanya ada dua pilihan saja, dimana keputusan akan langkah diambil tergantung pada diri tiap individu.

Satu sisi mengarahkan kita ketempat yang akan berakhir dengan kebahagiaan dan sisi yang lain justru sebaliknya, ia akan mengarahkan kita ke tempat paling menyesakkan di muka bumi ini.

Tergantung baik buruknya kita dalam memilih arah mana yang ingin di tempuh.

Kembali pada takdir setiap orang itu berbeda, tapi bagaimana dengan kita yang bijak dalam menjalani agar tidak terucap kata sesal dikemudian hari.

Remaja jangkung bernetra coklat gelap itu terjerembab di dinginnya ubin, menatap kosong daun pintu yang ditutup dengan sebuah bantingan keras, ah sepertinya ia dikunci di kamarnya sendiri.

"Apa harus kabar kematian menjadi penyesalan kalian, yang akan membuat kalian sadar betapa sakitnya jadi Raka" ucapnya masih dalam posisi yang sama.

Segala bisa saja terjadi di esok hari, entah terus bertahan ataupun menyerah dalam luka. "Apa harus sebuah kepergian yang akan buat Ayah ataupun bunda berhenti mengutamakan keegoisan" lirih Raka.

"Bahkan untuk sekedar mendengarkan saja ayah tidak mau, untuk sekedar percaya aja bunda enggan. Apa Raka tidak pernah ada artinya di mata kalian?"

"Kalian gak nanya itu Raka atau bukan tapi langsung menyimpulkan itu adalah anak yang udah kalian asingkan dulu" ucapnya merasakan sesak di dadanya.

"Raka pikir beberapa hari terakhir kalian mulai mau mengerti, kalian mulai berubah, kalian menganggap Raka itu ada seperti Riki ataupun Riko"

"Ayah mukul, nampar bahkan cambuk Raka tanpa pernah peduli luka yang tercetak, darah yang ngalir. Bahkan bukan cuma fisik tapi batin Raka juga Ayah lukai" lirih Raka air matanya mulai luruh.

Ia bukan manusia yang tidak memiliki perasaan, ia juga bukan orang berhati baja. Raka hanya manusia biasa yang juga bisa meneteskan air mata.

"Bunda bilang nyesel punya anak kayak Raka kan, lalu kenapa gak dari dulu Raka dibuang aja atau dibunuh biar penyesalan itu gak pernah Raka denger"

Kekecewaan cowok itu bukan berada pada keluarga ataupun orang tuanya melainkan dirinya sendiri.

Kalaupun bisa ia tidak akan pernah hadir diantara mereka yang hanya akan kesusahan sebab sosoknya ada.

Mengakhiri diri bukan jalan keluar, dan itu juga, jalan yang tidak akan pernah ia pilih.

"Sekarang Raka harus apa? semua rasanya berat banget, rasanya capek kalau kayak gini terus. Boleh nyerah aja?" parahnya.

Cowok itu menangis pilu memukul dada sesak, kenapa ia harus menerima luka yang timbul dari mereka yang seharusnya mengasihi.

Entah luka macam apa lagi yang harus diterima dalam raga yang telah rapuh itu.

"Kenapa kamu mukul Raka sebruntal itu Fahri!" bentak wanita yang kini menatapnya tajam.

Pria itu menghembuskan napas, bukan itu yang dia inginkan, batinnya selalu berusaha menentang setiap kekerasan yang ia berikan pada putra bungsunya.

I'm Just Hurt Where stories live. Discover now