⠀⠀23. Pelangi yang Renggang

388 49 4
                                    

Di pagi hari, Sekar Yeratna kembali meramu kesedihan yang terus membayanginya sejak malam

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Di pagi hari, Sekar Yeratna kembali meramu kesedihan yang terus membayanginya sejak malam. Pelukan Juna tak membuat tangisan reda, meski akhirnya Yera putuskan untuk berhenti menangis--sebab terlalu lelah. Puan itu sedang berdiri dan mondar-mandir di dapur, menyiapkan perihal makanan yang akan disantap keluarga kecilnya pagi itu.

"Selamat pagi, mama." Sapa seorang gadis dengan senyum menawan.

Tamara duduk manis di meja makan. Sembari meletakkan tasnya di kursi sebelah, gadis itu berujar, "kenapa gak dibales?"

"Gimana?"

"Kenapa Mama noleh aku doang? Kenapa sapaanku gak dibalas?" Tanyanya dengan nada datar.

Yera tersenyum kecil. Menghiraukan tumisan kangkung yang baru dimasukkan ke panci, ia berlari terbirit-birit ke meja makan dan mencium kening si anak sulung.

"Ah iya, maaf. Selamat pagi juga, Tamara sayang. Tidurnya nyenyak?"

"Nyenyak."

Jawaban dia singkat, kadang kala membuat Yera selalu pasrah dengan moodswing si anak sulung. Tamara Astakoma dalah tiruan terhebat dari dirinya di muka bumi.

Sikap mereka bisa dibilang mirip, bisa juga tidak. Suka bermuka datar dan omongan kadang agak nyakitin hati. Belum lagi pada tubuh berdua yang tidak terlalu tinggi--siapa tahu nanti, tinggi Tamara akan melewati mamanya yang mungil itu. Kalau soal sekolah, beda cerita lagi. Jika guru Natya sampai minta Yera untuk menjaga buah hati agar tidak terlalu banyak ngobrol waktu pelajaran, guru Tamara justru menyarankan Yera agar membawa anaknya ikut konseling karena tidak punya teman akrab di sekolah.

Yera bisa saja menuntut perkataan tersebut--apalagi ini adalah dua cucu tersayang Mami, dia tentu dapat mengambil jalur hukum apabila mereka berujar hal kurang mengenakkan.

Ditambah, Juna waktu itu terlalu workaholic untuk sekedar menanya kabar anak-anaknya di sekolah, membuat sang puanlah yang setiap hari harus menerima rentetan nasihat dari wali kelas Tamara dan Natya tentang hal baik-buruk yang mesti dipraktekkan maupun diatasi oleh mereka.

"Hari ini mama masak tumis kangkung dan tempe goreng buat kamu sama adek. Suka gak?"

"Suka, tapi aku gak suka muka Mama."

Beginilah impelemtasi dari tiruan Yera--punya segudang ucap yang menyakiti hati mereka, para pendengar.

"Mama kenapa?"

Seseorang nimbrung kedalam dialog dua arah itu. Tamara menengok Natya yang berusaha keras menaiki kursi meja makan. Sebenarnya dia berniat menawarkan bantuan, tapi melihat Natya dulu selalu menolak untuk dibantu naikkan tubuh ke atas kursi, Tamara pun tidak pernah melakukannya lagi.

Gadis itu tersenyum kecut. "Mata Mama merah, terus kantung matanya kayak beda. Tadi malam, pasti Mama nangis."

"Mama nangis?"

The Last Person ✓Where stories live. Discover now