⠀⠀21. Pernikahan itu milik Orang-Orang Kuat

524 60 14
                                    

"Tadi, kamu ketemu Mami?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Tadi, kamu ketemu Mami?"

"Gak, Juna. Kayaknya Mami gak datang. Padahal aku nunggu uang saku dari dia. Biasanya gede, apalagi Tamara dan Natya tambah besar. Mami juga kalau sayang tuh gabakal setengah-setengah."

"Kirain Mami datang. Aku mau minta maaf soal tadi pagi itu."

"Itu mah aman, Juna. Nanti aku kasitahu Mami deh, biar kamu gak kenapa-kenapa."

"Makasih yah."

"Iya."

"By the way, Yera."

"Kenapa?"

"Kamu, marah?"

Wanita itu lantas menutup wajahnya dengan telapak tangan. Ia mengeluarkan napas secara kasar. "Juna, aku tuh gak setiap saat marah loh. Barusan tadi kita ngobrol dengan tenang. Kenapa kamu selalu tanya perihal aku marah atau nggak? Aku aman. Tentram. Damai. Paham?"

"Aku cuman tanya. Akhir-akhir ini, kita gak kayak biasanya."

"Emang biasanya kita kayak gimana?" Tanya Yera balik.

Percakapan itu berlangsung di atas mobil. Si pengemudi awalnya berniat untuk terus mengatup mulut dan menciptakan keheningan sepanjang perjalanan. Tapi jika dikilas balik, tidak ada salahnya juga kan dengan mengobrol bersama istri? Maka ketika mereka berdua sudah ada di dalam mobil, setengah perjalanan menjauh dari gedung pesta ulang tahun Ayudia--sekretaris perusahaan yang dipimpin Juna--lelaki itu baru mendapat keberanian.

"Adu mulut?"

"Bukannya dari awal nikah kita kayak begitu? Bentar deh Juna, aku mau tanya sesuatu. Penting," seru Yera yang tiba-tiba ketiban sebuah topik seru di kepalanya.

Juna menengok sekilas. "Apa aku perlu pinggirin mobil bentar? Kamu kelihatan serius banget."

"Boleh deh."

Mendengar seru persetujuan, ia pun bersigap memelankan mobil dan akhirnya memberhentikan benda itu di samping ruas kanan jalan. Juna akhirnya membalikkan tubuh dengan posisi sempurna--menghadap Sekar Yeratna. Kakinya ia silangkan di atas kursi dan kedua tangan menopang kuat wajah tampan itu. "Ada apa?"

"Juna, apa harapan kamu waktu kita nikah dulu?"

Pertanyaan itu membuat si lelaki segera berefleksi selama enam tahun belakangan. Mengayomi samudera yang dipenuhi batu karang, Juna akui pernikahannya sulit untuk bisa bertahan. Banyak lubang yang terukir di atas kapal, membuatnya sulit untuk seimbang dan melewati berbagai rintangan.

"Aku berharap kita bahagia."

"Kalau sekarang?"

Sempat berpikir lima detik, Juna pun berpungkas. "Aku berharap kita bahagia."

"Oke."

Yera mengangguk pada tuturan sang suami. Wanita itu masih belum sepenuhnya menghadapkan wajah pada Juna--terus setia memandang ruko tak jauh dari parkiran mobil mereka. Ruko sepi yang tampaknya akan tutup sebentar lagi. Ia tak tahu bahwa dalam alunan hampa itu, Juna setiap menatap setiap inci wajah sang istri. Sesekali tersenyum tanpa sepengetahuan Yera. Beberapa saat kemudian, barulah si wanita mengeluarkan unek-uneknya.

The Last Person ✓Where stories live. Discover now