⠀⠀03. Ayo Kita Pergi!

906 118 2
                                    

"Kak Uga

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Kak Uga."

Seseorang baru saja mengintip ke ruang kerjanya tanpa sapaan sopan. Uga hanya bisa menghentikan jari-jarinya yang bermain lincah di atas laptop lalu segera membalas tutur orang itu. "Iya?"

"Aku mau antar berkas ke Juan nih. Anterin dong?"

"Gak bisa sendiri ya?" Protes Uga dengan halus.

Jujur, pekerjaan Uga Janaira masih terlalu banyak. Di perusahaan komputer itu, Uga mendapat jabatan sebagai Wakil di Divisi Masyarakat, bertugas dalam menjamin dan memastikan pelayanan komputer mereka baik adanya ketika sampai di tangan konsumen bahkan setelah digunakan selama bertahun-tahun.

Uga baru mendapat sedikit waktu longgar sore ini, dimana ia hanya ditugaskan membuat laporan harian tentang kepuasan pelanggan berusia lanjut. Dan disinilah seorang Dion Jeharu dengan senyum konyolnya meminta bantuan pada si Uga.

"Kamu tuh kalau bukan sahabat Yera dan teman nongkrong Juna, Rea, udah pasti saya tolak mentah-mentah."

"Terima kasih, kak cantik."

Dion menampakkan senyum manisnya lagi, kali ini ditambah lengkungan di mata yang berbentuk senyum. Bagi Dion, itu anugerah namun bagi Uga, raut mukanya itu sedikit menjijikkan. Ia pun segera melangkah kaki mengikuti langkah si cantik Uga dengan jalannya yang begitu elegan dan memesona.

"Kak, Tera belum minta balikkan?"

"Saya sudah relakan dia," reflek Uga bertutur dengan wajah kalemnya.

Dion menaikkan sebelah alis. Satu mata menyipit tanda kurang percaya. Kini langkahnya sudah bukan di belakang, namun sudah ada di samping Uga. Berjalan beriringan dengan wanita dingin itu.

"Yakin?"

"Iya," gumam Uga.

Dion hanya mengangguk pelan. Kedua tangan memegang kuat-kuat berkas yang ia bawa itu. Kemeja hitam dan celana kain berwarna sama semakin menambah kesan rupawan, walau hati sebenarnya masih dag dig dug mengingat kejadian waktu itu.

Ia memaki. Ia melampiaskan amarah. Ia jengkel. Ia hampir melayangkan pukulan.

Jika ekspresi emosi itu diutarakan, tentulah sangat wajar. Namun Dion melakukannya kepada Juna Astakoma. Siapapun pegawai yang baru bekerja sebulan di kantor itu sangat segan dengan Juna, berbeda dengan Dion yang sungguh enteng menghadapinya. Yah, semoga saja dia tidak dapat masalah.

"Sudah sampai."

Uga menghentikkan pergerakkan kedua kakinya. Kedua tangan kini diselipkan dalam saku kemeja. Uga melirik Dion. "Singgah dulu ke sekretarisnya, tanda tangan disana, titip di sekretaris kalau dia gak ada. Kalau ada, langsung masuk aja."

"Takut."

"Eh?"

Senyum Uga kini mengeluarkan suara kekehan kecil. Sosok tinggi di samping kanannya ini tampak punya sesuatu yang disembunyikan.

The Last Person ✓Where stories live. Discover now