Aaron: Pertarungan Sengit

38 10 17
                                    

Pertarungan ini cukup sengit untuk disaksikan oleh langit.

••••••

“SAFIYYA AWAS!!” seketika aku membuka mata saat merasakan tubuhku diguncang hebat. Mama kini ada di hadapanku. “Kamu kenapa? Udah nggak mau hidup? Ada besi atap yang mau jatuh nimpain kamu, loh.” Pernyataan itu membuatku melihat ke sekeliling. Perasaan tadi aku sudah berada di bawah, tapi kok masih ada di balkon?

Aku mengedarkan pandangan ke sekitar. Ada besi yang jatuh ke bawah, tapi anehnya di bawah sama sekali tidak ada orang. Bukannya tadi ada dia?

“Kamu kenapa?” mama mengelus bahuku. Aku menggelengkan kepala. Ini aneh.

“Ma. Tadi Kak Aaron ke sini, ‘kan?” tanyaku. Mama seketika menatap aku lekat. “Iya ‘kan, Ma?”

“Safiyya. Dari tadi hanya ada kamu dan Mama di sini.” Tidak. Tadi anak itu menodongkan aku sebuah pisau, ‘kan?

“Dia ke sini, Ma. Dia bawa pisau.” Mama menggeleng, tangannya membelai harus pipiku. Aku memeganginya ketakutan.

“No, Sayang, No. Aaron nggak di sini.”

“ENGGAKKK!!!” aku menjerit ketakutan. Dia ada di sini tadi, mengapa mama tidak percaya. Jelas-jelas dia ada di sini, tidak mungkin aku berbohong.

Aku jongkok. Lemas ketakutan. Tubuhku menggigil, air mataku terus mengalir tak ada henti-hentinya. Mama ikut menyamakan tingginya dengan aku. Tatapan mama seakan bingung. Aku jauh lebih bingung lagi.

Mama berteriak memanggil nama Bi Erti, tapi selepas itu aku tidak tahu apa yang terjadi. Bangun-bangun mama dan Bi Erti sudah ada di sampingku. Menangis.

Ada seruan alhamdulillah dari bibir mereka sambil memeluk aku erat.

“Sayang. Akhirnya kamu bangun juga.” Mama mencium keningku. “Mama khawatir. Don’t leave me. Mama sendiri sekarang. Hanya kamu alasan kenapa Mama bisa kuat.”

Bi Erti kulihat mengelap air matanya seakan tak mau terlihat cengeng. “Fiyya nggak bangun-bangun dari kemarin malam sampe malam lagi. Gimana kita nggak panik.” Pernyataan yang diselingi sesegukan dari Bi Erti seketika membuat aku memaku. Berarti selama itu aku pingsan? Ada apa?

“Jangan lagi, ya?” kata mama yang membuatku tersenyum. Jujur aku tidak tahu harus apa. Aku tidak bisa mengingat apa yang terjadi sebelum ini. Aku hanya mengingat ada ... pisau. Iya, pisau!

—————

Netra ini mengamati para jee ja yang sedang berlatih taekwondo. Hari ini aku kembali mengajari mereka setelah berapa lama sudah aku memilih libur karena jadwalku yang berantakan semenjak kasus ini belum terpecahkan.

Mereka semua serempak menendang kaki belakangnya ke depan setelah mendorong ke samping dan mendorongnya. Gerakan ini biasa kami kenal dengan sidekick. Salah satu gerakan paling penting di dalam taekwondo. Orang-orang akan menilai tingkat kemampuan atlet taekwondo secara keseluruhan dari satu gerakan ini.

Sabeum Samir terus berteriak menyemangati mereka semua dan sesekali mengulangi gerakan yang sama. Minggu lalu lomba sudah diadakan, tapi sayangnya aku malah tak peduli dan memilih untuk mengundurkan diri beberapa hari lalu. Aku tahu mereka semua pasti kecewa, hal itu dilihat dari tatapan para jee ja yang menatapku secara tak biasa — tatapan sakit hati.

Bagaimanapun juga ini semua kesalahanku. Aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri hingga semua ini terbengkalai. Jika saja saat itu aku bisa membagi waktu, pasti tak serumit ini.

AARON: Skizofrenia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang