Aaron: Kata Manis

55 14 54
                                    

Seratus kilogram akan kalah dengan perhatian kecil tapi berat dan nilainya seperti semesta.

•••••

Nyaman adalah satu kata yang dapat menembus sanubariku. Cukup lama aku dan Kak Aaron berbincang sembari memakan bakso, padahal aku ingin sekali cepat-cepat pulang menemui mama. Bisa habis aku jam segini belum sampai rumah. Tadinya ingin pulang lebih cepat, tapi orang di samping memaksa untuk memakan bakso. Di mana bakso adalah salah satu jenis makanan yang ragu untuk kusukai.

Bersamaan dengan makan, di sela itu kami juga sedang menunggu para polisi yang masih bertugas. Aku ingin mengabari Bi Erti sebelumnya, hanya saja aku tidak hapal dan tidak ingat percis seperti apa digit angkanya. Saat ini, ponselku juga low battery.

“Gue mau ngomong deh.” Kak Aaron kembali menggugah semangatku yang sempat dilanda bosan akibat tidak ada lagi hal yang harus kita bicarakan.

Dengan semangat aku menatap ke arahnya sambil tersenyum lebar. Kumiringkan kepalaku sedikit dengan salah satu alis naik, berisyarat apa yang mau dikatakan.

“Nggak baik cewek malam-malam di rumah cowok.” Aku menunduk seketika. Kurasakan pipiku tengah memanas, pasti blushing. Hal kecil yang menurutku dapat membuat senam jantung.

“Sebenernya gue ke sana cuma mau ambil taktik. Ambil salah satu data dia, dan ngehancurin dia lewat data itu. Gue lakuin manual, karena digital nggak efisien menurut gue.” Aku mencerocos seketika. Membuat Kak Aaron bingung. Kebiasaan dan kekuranganku salah satunya di sini. Sulit menceritakan semuanya dari awal, terlebih ceritanya panjang.

“Oke gini, Kak.” Akhirnya kuputuskan untuk meralat semuanya. Pasti ada rasa tidak sreg di dalam hati jika bercerita kepada orang, tapi orang itu tidak bisa memahami apa yang kita ceritakan. “Gue punya abang, tapi udah meninggal. Dia sahabat Galuh dulunya, cuma ... dia tiba-tiba jadi pengkhianat.”

“Pengkhianat?” aku mengangguk sambil mengembungkan pipi.

“Ya. Dia pernah di penjara selama empat tahun atas kasus pembunuhan.” Kak Aaron terlihat terkejut mendengarnya. Raut wajahnya seakan bercerita bahwa pertanyaan-pertanyaan yang terpendam akhirnya terjawab, mungkin.

Jadi Bang Galuh di penjara? Pantes aja, empat tahun belakang dia nggak pernah kunjungin panti, tapi dia bilang ....” Kak Aaron menatapku lekat, “tapi dia bilang, dia ada urusan di luar kota selama empat tahun, dan dia baru mengunjungi panti beberapa hari lalu.”

Aku mengangguk untuk semua itu. Kembali menegaskan kalau memang Galuh di penjara, bukan keluar kota.

“Dia membunuh siapa?”

“Abang gue.” Kak Aaron langsung terbatuk-batuk. Ia memegangi kuat tenggorokannya, terlihat matanya melotot, apa baksonya masuk tanpa dikunyah? Apa namanya? Tersedak bakso?

“Astaghfirullah!” aku lantas bangkit ke belakangnya. Menepuk lehernya sampai tiga kali baru terjunlah dari dalam mulut ke atas mangkok satu buah pentol bakso yang ukurannya standar. Aku lantas menyodorkannya minum. “Makanya hati-hati kalau makan.”

“Namanya juga keselek. Mau dihati-hati, kalau emang udah jalannya keselek, ya keselek.” Iya juga. Kami menghentikkan pembicaraan setelah merasa tidak ada yang dibahas. Fokus makan supaya cepat habis, meski lambungku menolak.

Tiba-tiba polisi menghampiri kami. “Tugas sudah saya selesaikan. Mari, saya antar Mbaknya pulang.” Aku mengangguk, sebelum akhirnya ikut pulang bersama mobil kepolisian. Tidak lupa Kak Aaron juga sempat membayar biaya bakso kami sekalian polisi, untuk porsi polisi, kami sudah bungkuskan, ah maksudku Kak Aaron yang sudah membungkuskan. Mereka bilang tidak punya waktu bila makan bersama kami.

AARON: Skizofrenia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang