Aaron: Waktunya Membayar

34 11 20
                                    

Hal yang sampai saat ini menjadi luka tersendiri adalah mengetahui bahwa kamu termasuk bagian keluarga yang seakan skizofrenia; sebuah pikiran yang bergerak kecil menghampiri ilusi yang sebenarnya memang kenyataan.

•••••

Diamnya Kak Nurin membuatku terus bertanya-tanya. Apakah dia bersedia untuk membantu, atau justru enggan karena sudah tidak lagi peduli.

Hati terus merapal agar ketulusannya mampu membuat keadilan untuk Bang Fiyan. Pengakuan iri dengki saja tak cukup untukku. Sebagai adik, aku ingin ia pergi dengan tenang. Bagaimanapun caranya.

“Kak. Apa bersedia?” tanyaku mengulang. Dia hanya menatapku. Kata-kata yang harusnya keluar dari mulutnya justru membisu saat ini.

Suasana mulai tidak karuan. Dalam hati aku masih terus berdoa, semoga takdir kali ini memberikan apa yang aku inginkan.

Kak Nurin menghela napasnya. “Sebelumnya ....” Perasaanku sudah tidak enak. Kata ‘sebelumnya’ seakan-akan sedang mengartikan bahwa Kak Nurin menolak secara halus. Ya Allah, hamba mohon untuk kali ini saja.

“Sebelumnya terima kasih sudah memberikan saya kesempatan untuk speak up melalui jalur hukum seperti ini. Saya memang ingin keadilan tentang apa yang saya dapat dari kelakuan bejatnya, tapi saya sudah memutuskan untuk berdamai dengan masa lalu.”

Tahu apa yang aku rasakan saat ini? Tiba-tiba bulu-bulu di kulitku saling menegak. Kalimat terakhir yang Kak Nurin katakan sungguh mengiris hati di balik perasaan yang kecewa. Dia hebat dapat berdamai dengan masa lalu sampai tak ingin membuat Galuh kembali menjalani proses hukum.

Biasanya, psikisnya akan terganggu, tapi Kak Nurin justru merasa memiliki semangat baru. “Galuh, lo salah udah nyia-nyiain wanita sebaik Kak Nurin.

“Maaf saya cerita sedikit.” Aku mengangguk. “Dulu saya memang ingin menjeratkan dia ke penjara. Jangan bilang keadaan mental saya baik-baik saja, bahkan lebih buruk dari sekarang, tapi, saat itu almarhumah ibu saya menguatkan, ‘Seburuk apa perlakuan orang terhadap kita, dia tidak akan mau berubah kecuali dia ingin berubah. Tugas kita adalah mendorongnya untuk menjadi lebih baik, bukan lebih buruk’.” Pemikiran yang sulit.

“Tapi dengan di penjara dia bisa berubah, Kak.”

“Belum tentu. Buktinya ada seseorang yang tertangkap karena mencuri, dia di penjara, tapi setelah bebas, apa kita bisa mempercayai kalau dia tidak akan menjadi maling lagi?” aku menggeleng. “Safiyya. Orang tidak akan berubah, apabila dia tidak ingin merubah dirinya. Saya hanya ingin yang terbaik untuk masa depan saya, Iyas, dan Galuh. Apa pun yang sudah saya lalui, saya ikhlas.”

“I feel you. Saya tau Kak Nurin sudah mengikhlaskan apa yang terjadi, tapi saya hanya ingin meminta bantuan Kak Nurin untuk menjadi saksi atas kepalsuan pengakuan dari Galuh. Jika tidak segera diklarifikasi, kejujuran di negeri ini sulit untuk dipahami.”

“Saya nggak minta Kak Nurin bersedia sekarang, tapi saya berharap Kakak bisa membantu saya dan keluarga saya. Karena semenjak kematian kakak laki-laki saya, oma saya menyusul, ayahnya saya pergi entah ke mana, dan mama saya koma selama empat tahun.”

“Saya sendirian. Sulit untuk saya dapat berdamai dengan masa lalu setelah perjalanan yang meletihkan ini. Tinggal sejengkal lagi, saya dapat memberikan keadilan untuk keluarga saya. Rasa kehilangan ini tidak akan pernah setimpal dengan hukuman yang kuasa hukum beri.”

“Tapi balik lagi. Saya nggak bisa maksa, dan semoga Kak Nurin selalu Allah jaga. Apa pun yang Kak Nurin pilih, saya terima. Saya percaya, Allah punya banyak cara untuk memberikan keluarga saya keadilan.” Aku berdiri, hendak menyalimi Kak Nurin, tapi dia lebih dulu membuatku memaku dengan ucapannya sendiri.

“Saya bersedia.”

—————

Bagaimanapun, seberusaha apa kamu menjauh, nyatanya, hatiku tetap akan berlabuh padamu, wahai pembawa rindu.

Dia bukan sekadar kakak kelas, dia adalah adik sepupuku, bagian dari keluargaku. Entah ini pernyataan sebenarnya, atau justru alibi untuk ingin dekat dengannya.

“Selamat malam, Kak. Gimana kabarnya?” aku bergumam sendiri di depan balkon kamar.

“Gue cuma mau kasih kabar kalo gue udah nemuin Nurin Laksmita. Besok dia bakal jadi saksi atas semua perbuatan Galuh ke Bang Fiyan. Kalo lu mau hadir, gue persilakan ya.”

“By the way. Soal bokap gue. Gue terima semua kekesalan bahkan kemarahan lu. Gue juga mau selidikin itu, kok, tapi secara berkala ya. Gue butuh support dari lu. Maaf gue baru berani speak up. Jujur gue gak tau apa-apa tentang pembunuhan masal di rumah lo.”

“Bersama dengan luka, selamat malam Aaron El-Amin.”

Hal yang sampai saat ini menjadi luka tersendiri untuk aku adalah mengetahuimu bagian dari keluarga, tapi seperti skizofrenia yang seakan sebuah kenyataan yang sedikit melintas pada kehidupan ilusi, sehingga aku sendiri tak bisa membedakan yang mana yang benar.

“SAFIYYA LO KANGEN GUE YA?!!!” tiba-tiba terdengar teriakan yang tidak asing bagi telinga. Aku tersentak sebentar, kemudian menunduk ke bawah melihat siapa yang ada di sana.

Mataku menerjap. Aku memukul pelan kepalaku. “Jangan halu Safiyya!” aku melihat ke bawah lagi, dia tersenyum. Apa ini memang dia? Atau aku sedang halusinasi?

“TURUN CEPETAN, GUE BAWAIN HADIAH BUAT LO.” Nggak, nggak mungkin. Aku pasti salah lihat. Pemuda itu lagi marah sama aku, ‘kan? Jadi, rasanya nggak mungkin kalau dia ada di sini.

Suara pintu kamar terbuka membuat aku tersentak dan langsung menoleh ke belakang, ada mama.

“Sayang. Itu ada temen kamu teriak-teriak di depan deh keknya. Sana bukain.” Lho? Berarti aku tidak mimpi?

“Apaan sih, Mama. Nggak ada.”

“Safiyya. Bukain dong. Dia teriak-teriak, loh. Berisik, Nak.” Aku membalikkan badan, melihat ke bawah lagi. Benar. Kayaknya aku nggak lagi mimpi. Ada apa ini?

“Bentar, Ma.” Aku berjalan mendahului mama, turun ke bawah dan membukakkan pintu. Benar saja, dia masih setia berdiri dengan senyuman yang sedari tadi tak pernah pudar.

“Gue bawain lu sesuatu.” Dia berjalan mendekat, tangannya bersembunyi di belakang seperti sedang membawa sesuatu.

“Kak. Lu nggak marah sama gue?”

“Semoga lu suka hadiahnya, ya.” Dia seperti sedang menghindari apa yang sedari tadi aku pertanyakan.

“Kak, lu mau bales dendam, ya?”

Dia terkekeh. Perlahan salah satu tangannya tak lagi bersembunyi di belakang. Namun, tangan satunya lagi masih setia bersembunyi di balik punggungnya.

“AAA!!!” aku menjerit kala satu tangan yang tadinya bersembunyi, kini sudah ada di depanku dengan sebuah pisau daging yang sudah menodong di wajahku. So scared, Aaron.

“Kak to–long jang–jangan nekat.”

“Nyawa dibayar dengan nyawa!”

Ini jebakan. Tidak, aku belum siap untuk mati, tapi bagaimana jika hari ini adalah hari terakhirku?

Kemarin adalah hari yang tidak akan pernah bisa kita ulang, hari ini adalah hari di mana kita harus memperbanyak amalan, sedangkan esok, belum tentu kita bisa bertahan.

Selamatkan aku, Allah.

•••••

To be continued.

Aaronesian said: Banyak kali ini adegan thrillernya :v

All rights reserved. Tag me on instagram @syadrabakri if you want to share special part or everything about this stories.

Indonesia, 19 Desember 2021 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.

AARON: Skizofrenia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang