Aaron: Ribuan Luka

103 19 29
                                    

Datangnya kesedihan adalah cara Allah melatih diri untuk lebih bersabar atas semua musibah, serta jauh lebih berani akan semua kenyataan pahit yang terjadi setelah detik ini.

•••••

Sama seperti kemarin, suasana ibu kota masih mendung, bahkan, dari semalam hujan belum juga reda. Hanya saja, lebatnya tidak sedahsyat kemarin malam. Seorang gadis tengah merangkul guling sembari meringkuk di bawah selimut. Tangannya gemetar, kakinya dingin, tubuh mungilnya menggigil.

Dua hari lamanya anak itu meliburkan diri dari dunia sekitar. Ia lebih berdiam di rumah. Menikmati waktunya dengan sang mama yang saat ini sama-sama terbaring tidak berdaya.

Pintu kamarnya terketuk pelan. Dengan suara berat dan sedikit serak, gadis itu mempersilakan seseorang masuk ke kamarnya.

“Fiyya ... ini, Bibi bawakan kolak hangat.” Seorang wanita parubaya masuk ke kamar Safiyya dengan semangkuk kolak ubi hangat di tangannya.

Wanita bernama Erti yang tidak lain asisten rumah tangga di sini melangkahkan tungkai mendekat ke arah kasur yang saat ini ditiduri Safiyya.

Tangan yang sudah tua itu mengelus perlahan kaki Safiyya yang tertutupi selimut tebal. Anak itu kemudian bergerak membuka selimut yang menutupi kepalanya.

Bibir pucat miliknya melengkungkan senyum. “Makasih, ya, Bi.” Bi Erti mengangguk lantas membantu Fiyya untuk duduk dan bersandar pada punggung ranjang.

“Mama udah bangun belum?”

Senyum yang semula bermekar indah di bibir Bi Erti tiba-tiba beralih menjadi sendu. Hatinya sedikit teriris mendengar pertanyaan yang anak majikannya tanyakan setiap harinya. Kapan, mamanya bangun?

Kejadian enam tahun lalu membuat keluarga Safiyya hancur. Kakak laki-laki yang satu-satunya menjadi pelindung untuk perempuan-perempuan di rumah ini harus lebih dulu meninggalkan Safiyya. Dari sana, gadis itu mulai menyalahkan dirinya sendiri. Siapa bilang, Safiyya yang terlihat ceria di luar sana, ternyata memiliki masalah yang memeningkan kepala. Namun, cerita ini tentang bagaimana Safiyya berjuang melawan penyesalannya.

Mungkin, kematian kakaknya akan menjadi sebuah kewajaran untuk semua manusia, karena, setiap yang bernyawa pasti akan mati. Begitu yang Allah sabdakan. Hanya saja, kematian Fiyan yang tidak wajar membuat semuanya diselimuti nuansa kelam.

“Tuhan masih belum menghendaki, Fi.”

Safiyya tersenyum kecut. Lagi-lagi, ini jawaban yang harus ia dapat setiap harinya. “Ma ... kapan, Mama bangun?

—————

Dunia mungkin bukan tempat untuk menaruh semuanya. Pada akhirnya, sekuat apa orang menjaga, jika hal itu memang tidak berlandas selamanya, tetap akan pergi, meninggalkan segalanya, termasuk perit dan rasa sakit.

Satu motivasi yang Safiyya ingat dari kata Helen Keller. “Kita tidak akan pernah belajar sabar dan berani, jika di dalam hidup ini hanya ada kebahagiaan.” Artinya, dari semua kesedihan yang jatuh hari ini, Tuhan sedang melatih diri untuk lebih sabar atas semua musibah dan jauh lebih berani dengan kenyataan-kenyataan pahit yang terjadi setelah detik ini.

Setelah meringkuk seharian, kondisi gadis itu akhirnya membaik, dan kini, dia sedang berada di kamar sang mama. Selang infus yang menempel di punggung tangan Brisa, sang mama, begitu memilukan Safiyya. Apalagi oxygen concentrator yang saat ini terpasang di hidung Brisa.

Gadis dengan rambut yang dibiarkan terurai itu menggenggam hangat tangan pucat Brisa yang terbebas dari infus. Sesekali ia mencium punggung tangan mamanya sambil menitihkan air mata. Sudah lima tahun berlalu, tapi mamanya belum juga sadar-sadar. Tidak bisa melihat pertumbuhan Safiyya yang satu tahun ke depan akan lulus dan beralih ke jenjang pendidikan lebih lanjut.

AARON: Skizofrenia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang