Aaron: Berjalan Sendiri

37 11 14
                                    

Terkadang takdir Tuhan memang mengecewakan, tapi hal itu membuat kita sadar, bahwa kehidupan itu seperti roda berputar.

•••••

Mendengar pernyataan yang mama ajukan tadi, seketika aku merasa de javu dengan beberapa memori di rumah sakit saat itu. Saat pertama kali mama bisa mengucapkan satu kata, pertama kalinya juga mama menyebut nama Aaron. Apa mama tau Kak Aaron?

“Ma. Do you know’s Aaron?”

Seketika mama menatap ke arahku. Matanya tak bisa bohong. Wanita itu seperti tengah menyembunyikan sesuatu.

“Ma?”

“Aaron is ....”

“MA!!!”

Allahu akbar mama pingsan!! Eh, atau pura-pura?

—————

I don’t know why akhir-akhir ini rasanya aku ingin menjauhi keramaian, bahkan beberapa kali aku tidak ikut kerja kelompok dengan varian alasan yang menurutku sendiri memang klise. Namun, kurasa Citra dapat memahamiku hanya dengan melihay aku mengambil gerak kecil.

Gadis itu sama sekali tak mempermasalahkan ketidakhadiranku di tugas bersama, malah ia yang membantuku untuk mencari alasan agar tak terlalu mencurigakan. Seharusnya, aku tak melakukan ini. Kasian mereka, tapi mau bagaimana lagi. Konflik yang terjadi antara aku dan Kak Aaron rupanya berdampak pada moodku saat bersosialisasi dengan banyak orang.

Di memori ini terus memutar kenangan bersama Kak Aaron, dimulai dari yang paling menyebalkan, hingga semuanya dirindukan. Salah satunya ketika aku memanggil dia dengan sebutan ‘kadal’. Apalagi saat berlari yang kukira dia hendak bunuh diri. Memalukan, sekaligus menjadi hal yang paling aku rindukan.

Jika saja aku bisa memutar waktu, mungkin aku bisa mencegahnya datang ke rumah, sehingga asumsi pembunuhan yang dilakukan daddy tak terjadi padanya, dan hubungan kita akan baik-baik saja.

Bukannya apa. Beberapa hari ini aku juga diteror mimpi untuk kembali dekat dengan Kak Aaron karena ‘katanya’ dia kunci dari semua keresahan yang ada dalam jiwaku.

Masalahnya, aku tak bisa berbuat apa-apa apabila kondisi sudah tak memungkinkan. Bagaimana aku bisa kembali dekat dengan pemuda itu, jika saat berpapasan saja ia langsung membuang muka.

Setelah memasukkan baju doboknya ke dalam paper bag, Safiyya melangkahkan kakinya keluar dari kamar mandi perempuan yang ada di sekolah. Letaknya bersejajar dengan pintu kamar mandi laki-laki. Ada logonya masing-masing di tiap pintu masuk kamar mandi.

Pada waktu itu, gadis itu keluar bersamaan dengan Aaron yang baru saja keluar dari kamar mandi laki-laki. Sekejap, keduanya saling pandang. Ada rasa rindu yang benar-benar hendak pecah jika tidak keduanya tahan. Rasanya ingin menyapa, tapi pemuda itu sadar, bahwa Safiyya adalah anak seorang pembunuh, pikirnya.

Laki-laki itu tidak bodoh untuk bisa Safiyya dan keluarga kelabuhi. Ia mendengar semua yang terjadi. Ia tahu, tapi ia diam.

Ia memilih acuh, membuang muka dan melesat pergi. Netra gadis itu dapat melihat punggung Aaron yang mulai mengecil dan tak terlihat dari keberadaannya. Netra miliknya juga menangkap ada pengawas diam-diam di setiap pergerakan laki-laki itu.

“Kak Aaron. I really miss you.”

Dia merindukan semua yang terjadi. Mereka baru mendapat 20% dari kasus Galuh, mengapa bisa terjeda karena masalah yang seharusnya bisa diselesaikan dengan kepala dingin.

“Bantu hamba ya Allah.”

Kubuka netra. Tak terasa bulir bening membasahi pipi. Aku tak merasa ini berat untuk dijalani, hanya saja aku seperti merasakan kekosongan di dalam rongga dada. Tak ada yang mengisi.

AARON: Skizofrenia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang